Orang ramai membicarakan masalah kedemokrasian. Pembicaraan ini, ada di wilayah akademik dan juga nalar politik tingkat tertentu (entahlah, dapat disebut level atas atau level utopis). Tetapi, setidaknya, narasi ini, penting untuk dibicarakan publik, sehubungan dengan perkembangan budaya politik dan 'isu politik' di akhir-akhir ini.
Soal ada kandidat yang tidak ada mendapat dukungan partai, adalah wilayah praktis. Kita tidak membincangkan masalah itu. Karena masalah itu, bisa jadi, lebih merupakan sebuah resiko politik. Dalam pengertian lain, tidak didukung dan tidak terpilih, adalah hal yang wajar, dan biasa terjadi dalam dunia politik. Â Tetapi, soal dibalik itu semua, menjadi penting untuk dibincangkan, khususnya oleh kalangan akademisi dan juga rakyat Indonesia di masa depan.
Pertama, benarkah bahwa berkumpulkan partai politik dalam satu koalisi besar, adalah satu sikap politik yang digerakkan oleh kesadaran kebangsaan? atau lebih merupakan sebuah bukti nyata, kekhawatiran besar terhadap masa depan dirinya dan partainya di masa depan?
Kita sempat menyimak, dialog debat pilpres 2024. Presiden terpilih Prabowo pun, sempat merasakan dinamika atau fluktuasi (lebih tepatnya posisi dititik nadir), saat berada di posisi sebagai oposisi. Dengan alasan serupa itulah, kemudian di periode  ke-dua Jokowi dia bergabung dalam kabinetnya. Pengalaman ini, menarik, dan jangan-jangan menjadi bagian penting dari ingatan elit politik kita untuk lima tahun ke depan !!!
Dalam satu minggu ini, Golkar sudah jelas dihadapkan pada suksesi yang diluar dugaan banyak orang (luar). Pimpinan mundur, dan kemudian, menjadi teka-teki alasan politik dibalik kejadian tersebut. Apakah, membandelnya PKB Â selama ini, kemudian merasa 'tertekan' dengan digelitiki oleh PBNU, yang kemudian menjadi melunak ke Koalisi?
Semuanya, sekedar dugaan dan analisis politik semata!
Tetapi, bila menyimak sejumlah suara kritis seperti dari Saeful Muzani (pakar politik), dan Ikrar Nusa Bhakti, aroma sandera politik sedikit tercium dalam konteks pengendalian perilaku elit politik sekarang ini. elit politik yang tersandera, akan mudah dikendalikan. Ibarat kerbau yang mudah dikendalikan oleh sang penguasa.
Kedua, apakah ada kesadaran yang sama diantara elit politik, bahwa penghilangan kompetisi politik, adalah bentuk nyata (1) tidak ada ideologi yang beda diantara mereka, artinya (2) bila tidak ada ideologi yang berbeda, dan ternyata masih bisa berkoalisi dengan rapih dan kuat, maka buat apa harus berbeda partai politik? , dengan fenomena itu, (3) jangan sampai, partai politik hanya sekedar jalur masuk untuk kekuasaan, padahal ideologi mereka adalah sama saja.
Ini adalah sebuah pertanyaan. Pertanyaan ini, mungkin tidak menjadi pertanyaan publik, melainkan sekedar pertanyaan dari sebagian rakyat kita saat ini. Dengan adanya pembiasaan koalisi-koalisian ini, apakah hal ini, menjadi bagian dari kesadaran merayakan demokrasi, atau secara tidak sadar akan 'membunuh demokrasi di masa depan?
Lha, bukankah, hak demokrasi untuk berkoalisi? iya, sih. Tapi, elit politik pasti sudah paham, bahwa di balik itu semua, jika tidak ada oposis dan pilihan politik dimonopoli, maka sama dengan tidak ada demokrasi. Kalangan pengamat, menyebutnya politik kartel. Apapun partainya, tetapi produknya sama saja, yaitu produk yang disepakati elit dan bukan yang diinginkan publik !
Ketiga, ada yang memberikan argumentasi, politik itu adalah realistis. Demokrasi juga rasional. Artinya, bila hasil bacaan, bahwa realisme politik menuntun untuk berkoalisi, maka untuk apa mengada-ada menjadi oposis, bukankah hal itu menunjukkan sikap yang utopis? Â pandangan ini, disampaikan oleh beberapa elit yang memandang bahwa realitas politik saat ini, melihat arah angin perkembangan budaya politik yang terjadi.Â