Tidak mudah menjaga kualitas kompetensi peserta didik. Lima tahun yang lalu, saat --sebut saja, Seno, pelatih seni masih aktif memberikan bimbingan dan latihan kepada peserta didik di Madrasah, hampir disebut tiada semester tanpa tropy. Tropy kejuaraan dalam lomba seni dan budaya tradisional (Sunda), dirasa sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Bukan hanya tropy, kegairan anak pun sangat kental terasa. Kekompakkan, soliditas, keseriusan, kesungguhan dan keuletan anak dalam berlatih sangat terasa dan dirasakan. Citra ekstrakurikuler yang bernama lingkung seni ini, sangat popular di dalam, dan juga luar madrasah.
Kisah ini mulai berbalik, saat Kang Seno beralih posisi, atau lebih tepatnya bergeser posisi. Karena posisinya sedikit bergeser, keluasan wewenang pun berkurang. Ruang ekspresinya sangat terbatas, dan gerak kreativitasnya pun sedikit menumpul. Hemat kata, citra dan ketajaman ekstrakurikuler dalam berkompetisi pun sedikit memudar, jika tidak disebut padam sekalipun.
Suatu saat, ketika mengikuti kegiatan akademik di Kota Bekasi, bertemu dengan salah seorang pengelola madrasah saiber di Kota Depok. Madrasah saiber (Cyber) ini sangat popular saat ini. Salah satu keunggulannya adalah rekayasa robotika.Â
Terhadap beliau, saya ajukan pertanyaan, "siapa yang paling dominan dalam rancang program madrasah tersebut ?", beliau menjawab "pengelola.". kemudian saya Tanya ulang, "andai beliau mutasi atau pindah kerja ?", mendengar komentar itu, dia kemudian sedikit kelakar, "wah...., bisa bubar..." jawabnya.
Mungkin itu kelakar. Tetapi, khusus untuk dunia pendidikan, kehadiran guru model atau pelatih model, adalah hal mendasar yang kerap menjadi pionir dalam pengembangan kualitas pendidikan.
Kita bisa melihat, banyak pesantren yang memudah, jika tokoh agamanya wafat. Ada pula, sebuah pusat bimbingan belajar di Kota Bandung, yang kini sudah memudar citranya, selepas pengelola atau 'aktor intelektualnya' wafat. Fenomena serupa itu, bukanlah kasus, tetapi kerap menjadi gejala umum terjadi di berbagai lembaga pendidikan, yang lebih mengandalkan pada figure.
Dalam wacana ini, sebuah lembaga pendidikan yang mengandalkan pada kekuatan figure atau model, bisa bertahan dan melesat, sepanjang  kekuatan ketokohan dimaksud. Tetapi, jika figure tersebut, mulai menurun kemampuannya, maka akan turut memudahkan kekuatan lembaga itu.
Seiring dengan pengalaman serupa itu, kita ditantang untuk membangun budaya kerja organisasi yang berbasis system, dengan proses kaderisasi dan internalisasi nilai yang merata. Hal ini perlu dilakukan, dengan maksud supaya nilai-nilai keunggulan itu bisa merata hadir dalam setiap simpul penyelenggara pendidikan, dan tidak terkonsentrasi pada seseorang.
Jika sudah terbangun system dan budaya organisasi yang kokoh, maka peralihan jabatan dan figure tidak akan mempengaruhi buruk terhadap kinerja organisasi tersebut. Di dunia pendidikan ini, sangat terasa, jika kepala sekolah pindah, maka kinerja pun goyah. Â Itulah masalah kita !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H