Saat bertanya mengenai hal ini, selalu saja, ada perbincangan yang ramai. Ramai bukan karena 'cemburu' atau comel atau kepo. Namun, tema seperti ini, terkadang sensitif, kadang pula menjadi sesuatu yang baik untuk melakukan refleksi harian.
Mengapa demikian ?
Iya, begitulah hidup dan kehidupan. Kadang kita tidak sadar, melakukan sesuatu hal yang tidak diiringi dengan kesadaran, pemahaman atau maksud dan tujuan dari kelakuan diri sendiri.
- Pertanyaan pertama, apakah haji/hajjah adalah sebuah gelar ?  tentunya, bukan gelar akademik. Tidak ada lembaga pendidikan, baik di dalam negeri maupun di  luar negeri, baik di lembaga keagamaan maupun non keagamaan, yang memberikan gelar haji/hajjah atau umrah kepada seseorang. Tentunya, hal ini, sangat mudah dipahami dan bisa dicermati di sekitar kita saat ini.
Jika bukan gelar akademik, apakah hal ini masuk dalam kategori gelar keagamaan ? bila disebut gelar keagamaan, apakah hal itu merujuk pada kompetensi tertentu ? Mungkin ada indikator tertentu, tetapi tidak ada kompetensi khusus yang menjadi prasyarat untuk seseorang bisa meraih gelar tersebut.
Lha bila demikian adanya, gelar apakah gerangan ? jawaban yang paling memungkinkan, gelar hajji/umrah adalah sebutan sosial di masyarakat kita terhadap orang-orang yang pernah melakukan ibadah haji/umrah.
- Pertanyaan kedua, jika haji/umrah sebagai praktek ibadah, bukankah seorang muslim bisa menggunakan gelar-gelar peribadahan lainnya ?
Untuk soalan serupa ini, kita mendapatkan keterangan sosiologis dan teknis. Di sejumlah kajian akademik, kita akan dapat mudah menemukan gelar-gelar keagamaan atau lebih tepatnya sebutan keagamaan terkait dengan praktek ibadah yang dilakukan seorang muslim.
Gelar mushollin, adalah sebutan untuk orang yang melaksanakan ibadah shalat. Muzakki adalah sebutan untuk orang yang melaksanakan zakat. Mudhahi adalah gelar atau sebutan terhadap orang yang melaksanakan qurban di tempat tinggalnya. Shoimun, adalah sebutan untuk orang yang melaksanakan ibadah puasa. Ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan luas. Ulul albab atau rasuyan fikr, adalah orang yang memiliki keilmuan dan pemikiran yang mendalam. Â Trend hari ini pun, sudah mulai muncul di tengah masyarakat. Seorang yang memiliki hafalan Qur'an yang baik, kemudian ditambahi dengan halar hafidz/hafidzah. Orang yang terbiasa berdakwah, disebutnya da'i.Â
Berdasarkan pertimbangan itu, jelas, bahwa haji/umrah adalah salah satu dari gelar keagamaan, terkait dengan kemampuan seseorang dalam melaksanakan ibadah keagamaan atau menguasai satu kemampuan tertentu. Rasanya, untuk konteks seperti ini, maka penyebutan gelar itu adalah sah dan tepat disandang oleh orang yang sudah menguasai atau pernah melaksanakannya.
- Pertanyaan ketiga, lantas, mengapa gelar keagamaan yang lain, tidak digunakan atau tidak disematkan pada nama seseorang ? Artinya, mengapa hanya gelar haji saja yang sering digunakan oleh masyarakat kita ?
Kita belum melakukan kajian mendalam terhadap fenomena serupa ini. Jika seseorang sudah melaksanakan haji, kemudian menambahkan gelar haji/hajjah di depan namanya, lantas mengapa gelar umrah, muzakki, mudhahi tidak disematkan kepada seseorang yang sudah melakukan praktek ibadah tersebut ?
Mohon maaf, dilihat dari sisi ekonomi, bisa jadi, karena haji (bukan  umrah) masuk dalam kategori langka, dan khas, dan tidak semua orang bisa melakukan dan menjalaninya, maka gelaran haji terasa lebih istimewa dibanding yang lainnya. Praktek shalat, puasa, kurban, termasuk umrah, hampir bisa dipastikan bisa dilakukan lebih dari sekali dalam satu tahunnya. Sedangkan, praktek ibadah haji, tidak selamanya bisa setahun sekali (khususnya terkait kuota), pun terkait dengan kemampuan finansial dan kesempatannya.  Karena itu wajar, bila kemudian dipersyaratkan haji itu adalah ibadah wajib sekali selama seumur hidup, khusus bagi mereka yang  mampu melaksanakannya.
- Pertanyaan terakhir, mengapa tokoh-tokoh Muslim masa lalu tidak menggunakan gelar keagamaan ?
Mungkin ilmu penulis belum menjangkau ke sana. Tetapi, sepengetahuan penulis yang terbatas ini, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, termasuk Ibnu Sina, atau Ibn Khaldun dan Imam Ghazali, dikenal di tengah masyarakat kita. Kita tidak mendapatkan informasi, berapa kali beliau melaksanakan haji dan umrah. Namun, hal yang terbaca oleh kita hingga saat ini, orang-orang tersebut, baik disebutkan oleh lisan kita dalam dalam sejarah hidupnya, tidak menggunakan gelar haji atu umrah dalam penyebutan namanya. Ataukah gelar imam (misal : al Ghazali, Ali bin Abu Thalib), atau Radhiyallu anhu (misal : Umar bin Khaththab), habaib bagi keturunan Rasulullah Saw, adalah gelar yang lebih tinggi dibanding gelar haji  ?Â