Entah guyon, atau kejadian yang sesungguhnya. Â Seorang rekan, yang kini menjabat sebagai kesiswaan di sebuah sekolah menuturkan situasi paradoks di zamannya saat ini. Satu sisi, dirinya sedang mendapat amanah menjadi penyelenggara penerimaan siswa baru, dan pada sisi lain, memiliki sahabat yang sedang menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Dua kondisi yang kontras, namun ternyata bisa terjadi dalam waktu yang berbarengan.
"sudah, pak Haji..!" ungkapnya dengan nada tinggi, "fokus saja ibadah, gak usah mikirin urusan dunia...." sarannya, kepada seseorang yang ada di ujung ponsel.
Pernyatan itu disampaikan, selepas beberapa menit sebelumnya dia mendapatkan kiriman pesan singkat dari rekannya nan jauh di sana. Entah di pesawat. Entah sudah sudah landing. Entah sudah ada di hotel. Entah sedang melaksanakan sebagian dari ibadah haji. Hal yang pasti, menurut informasinya, beberapa hari sebelumnya, sahabatnya itu akan berangkat menunaikan ibadah haji. Tidak tahu, apa yang ada dalam benak pikiran si Akang Haji itu. Hanya saja, sang teman ini menuturkan dalam obrolan santai di sela-sela mengisi waktu luang, "gila, masih sempetnya, mikiran anak tetangga supaya diterima di sebuah sekolah...." ungkapnya lagi sambil tertawa.
Fenomena ini mungkin dianggap sepele. Tetapi, bila direnungkan sedikit mendalam, jangan-jangan, hal serupa inilah, yang terjadi dalam perjalanan spiritual seorang pelaku haji di Indonesia, atau di kalangan umat Islam. Sahabat kita itu, tengah menuturkan sikap dan kelakuan sahabatnya, yang tengah menjalankan ibadah haji di tahun ini, namun masih sibuk dan menyibukkan diri dengan urusan diri, keluarga, atau tetangganya di kampung halaman yang ditinggalkan sementara. Sebagai orangtua, tentunya, tidak akan mudah mengabaikan nasib anak kita, baik yang sedang sekolah, akan masuk melanjutkan pendidikan, atau apapunlah, yang kini untuk sementara ditinggalkan di kampung halaman.
Haji pada dasarnya adalah ibadah. Haji adalah ritual rukun Islam kelima dalam ajaran Islam. Namun untuk mencapai maqam hakiki,  sebagai haji mabrur, tampaknya perjalanannya tidak mudah, tidak sederhana, dan butuh  perjuangan dan keseriusan yang hakiki pula dari seorang pelakunya. Bila saja, dia gagal dalam memahami hakikat  haji, maka alih-alih akan mampu mencapai derajat haji mabrur, untuk sekedar perubahan perilaku sosial pun, akan sulit nampak dalam diri dan kepribadiannya.
Pada level inilah, ada maqam pertama, yang bisa disebut sebagai perjalanan spiritualitas haji seorang Muslim. Maqam ini, disebutnya sebagai maqam haji syari'ah.
Di sebut haji syari'ah, tersebab acuannya lebih mengarah pada aspek formalitas dan legalitas. Â Seseorang mampu menunaikan ibadah haji secara syari'ah, manakala mampu menjalankan prosesi atau manasik haji/umrah dengan tepat, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Andaipun, ada pelanggaran etika dalam menjalankan ibadah haji/umrah, maka seseorang dapat menutupinya dengan melaksanakan denda atau dam.Â
Haji syari'ah adalah maqam pertama, dan umum. Boleh pula disebut sebagai haji awam (haji umum). Siapapun, sepanjang mampu menjalankan haji, secara formal dan legal (resmi dan sesuai aturan), maka dia akan mendapatkan gelar 'haji'. Pelaksanaan ibadah hajinya sah, dan dia memiliki pengalaman nyata dalam mengikuti ritual haji sesuai dengan standar operasional prosedur (manasik haji) yang berlaku dan ditetapkan berdasarkan hukum.
Bila sampai pada derajat sah haji atau haji syari'ah atau haji awam, perubahan nyata yang tampak dalam diri orang tersebut, yakni adanya perubahan sebutan sosial di tengah masyarakat. Sebutan itu, umumnya disematkan di awal nama, dengan gelaran 'haji fulan'. inilah perubahan nyata, dalam maqam pertama perjalanan spiritual haji seorang muslim.
Apakah gelaran dan maqam ini, memiliki hikmah dan ibrah bagi dirinya dan orang lain ?Â
Ada sejumlah pelajaran penting yang dapat dicermati dari perjalanan haji syari'ah ini. Pertama, tentunya, pelajaran pokoknya adalah tidaklah akan bisa mencapai sesuatu dengan benar, manakala seseorang tidak mampu melaksanakan tugas sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku. Â Derajat apapun, atau maqam apapun, hanya dapat dicapai, manakala seseorang mampu melaksanakan prosedur ritualitas yang ditetapkan.