Memilih wakil pimpinan (wakil kepala, wakil direktur, staff atau menteri) atau nama lain dari itu semua, bisa jadi bukan sesuatu yang mudah. Tidak akan mulus-mulus saja. Khususnya, jika hal itu, dikaitkan dengan kepatutan dari sebuah organisasi yang sehat, atau kuat.Â
Oleh karena itu, tidak jarang pula, bila kemudian ada yang menafsirkan bahwa penyusunan kabinet (wakil kepala sekolah, wakil kepala madrasah, atau menteri atau kabinet) itu bisa dianggap gampang-gampang susah.Â
Di sebut susah, khususnya bila dikaitkan dengan kepentingan politiknya, dan dianggap mudah bila lebih diacukan pada visi, misi dan harapan organisasi yang akan dibangunnya. Â Â
Â
Membentuk kabinet akan disebut mudah, karena akan berkaitan dengan harapan, impian, cita atau visi dari pimpinan. Dengan demikian, maka tidak aneh bila kemudian ada penyimpulan bahwa susunan kabinet ini, kita dapat menemukan perbedaan nyata antara organisasi sehat dan kuat. Visi karakter organisasi itu akan berbeda antara organisasi yang kuat dan sehat, bila diselaraskan dengan karakter pembantu-pembantu pimpinannya.
Organisasi seperti halnya pemerintahan, manakala bermaksud untuk menjadi pemerintahan yang kuat, maka dia harus mampu menunjukkan kaki-kaki kekuasaan yang bisa menopang kestabilan. Celakanya, jika formasi di dewan perwakilannya menyebar, maka simpul dan energi kekuasaan itu mengalami sentrifugalitas.Â
Dalam situasi seperti itu, seorang presiden bukanlah simbol kekuatan. Presiden bisa disebut simbol kekuasaan dan pemilik kekuasaan, tetapi tidak memiliki kekuatan-politik yang stabil. Hal itu, terjadi, karena kekuatan politiknya menyebar 'merata' pada semua pihak, termasuk kelompok oposan atau lawan politiknya.
Dalam situasi seperti itu, maka pilihan menjadi Pemerintahan yang transaksional akan menjadi pahit dan positif untuk dikembangkannya. Pimpinan terpilih, yang sadar diri telah berkuasa, namun tidak memiliki kaki kekuasaan yang kuat di akar-rumput politiknya, akan berusaha keras untuk merangkul semua pihak, mengakomodir kawan dan lawan politik, termasuk dengan pendekatan transaksional dalam membangun kekuatan pemerintahan yang kuat.
Dengan gambaran serupa ini pun, kita dapat  menarik kesimpulan yang sama, dan tetap seperti yang sudah disampaikan, bahwa "pembantu pimpinan adalah cermin dari wajah pimpinannnya".Â
Pimpinan yang terbiasa dengan transaksional, dan sadar diri tidak memiliki kekuata-penuh dalam dirinya, akan melakukan pendekatan transaksional dalam membangun wajah-pemerintahannya. Hal serupa itulah, yang akan terjadi di Pemerintahan, baik tingkat negara, pemerintahan daerah, perusahaan, termasuk juga sekolah atau madrasah.
Sementara, bila seseorang sadar diri memiliki kekuatan penuh dalam dirinya, khususnya karena mendapat dukungan atau partisipasi politik yang kuat dari masyarakat atau rakyat atau anggota, maka dia akan mengemas dan mengembangkan model pemerintahan yang berorientasi pada visi dan misi yang dimiliki.Â