Bencana tergulingnya bis yang membawa sejumlah peserta didik untuk melaksanakan studi tour, menjadi sebuah keprihatinan kita bersama. Â Sejumlah kelalaian, baik yang disebabkan karena human error, machine error, atau mungkin infrastructur error, hendaknya tetap dijadikan sebagai satu pemikiran yang harus terus diperbaiki. Dalam logika ini, tidak mungkin ada kecelakan, kalau satu diantara tiga hal itu tidak mengalami masalah. Supir ngantuk, kendati mesin mobil dan jalanan yang bagus, akan tetap melahirkan sebuah kemusibahan. Begitu pula dengan aspek yang lainnya. Terlebih lagi, jika jalan curam, rem blong, ditambah dengan supirnya urakan, maka hal itu sudah menyempurnakan kebencanaan yang prima terhadapnya.Â
Tetapi uniknya, saat mendengar, melihat, menyaksikan, atau membaca berita seperti itu, ada aja orang yang memunculkan pertanyaan, "apakah pembelajaran di luar kelas, masih tetap diperlukan dalam konteks pembelajaran ?". Â Pertanyaan ini, mungkin pertanyaan yang baik, tetapi, bisa jadi pertanyaan itu, tidak mengarah pada substansi masalah. Â Artinya, apakah musibah tergulingnya bis itu akibat ada kegiatan studi tour, Â atau karena kerusakan dalam tiga aspek tadi ?
Namun demikian, sebagai bagian dari warga masyarakat, sekaligus juga bagian dari pelayan pendidikan, rasa-rasanya, pertanyaan seperti itu, tidak bisa diabaikan begitu saja, dan tidak boleh sekedar dianggap angin lalu. Artinya, bila ada pandangan lain terkait bentuk pembelajaran luar kelas (out doors) tersebut, maka adalah satu dialog yang produktif untuk meluruskan kembali maksud, dan tujuan serta target dari pembelajaran di luar kelas. Karena memang, bukan hal yang mustahil, ada sebagian pelaku kegiatan itu, melupakan hakikat-model pembelajaran, dengan mengedepankan motif atrau motivasi yang tidak langsung dengan dunia pendidikannya !Â
Kita coba memgambil pandangan dari kelompok  kritis, dan memosisikan diri -- sebagai orang yang berpihak pada korban, kemudian dia melihat, bahwa program pembelajaran di luar kelas  itu, hendaknya ditinjau ulang, dan atau diminimalisir. Alasannya jelas, selain memiliki resiko pembiayaan yang tinggi, pun potensial memberatkan dan membahayakan.
Kita paham. model pembelajaran di luar kelas itu, sangat banyak ragamnya. Selain ada studi tour, ada kerja lapangan, dan juga susur susur sungai. Â Mungkin jadi, musibah terguling kendaraan wisata, merupakan berita yang kerap kalli terdengar, selain berita musibah yang disebabkan oleh kegiatan susur sungai. Dalam kegiatan yang terakhir ini, Â tahun 2020, kegiatan susur sungai di Sleman memakan korban siswa SMP di Sleman. Kemudian 2021, siswa Mts di Ciamis, menjadi korban dalam kegiatan susur sungai, kemudian di tahun-tahun berikutnya terberitakan pula korban jiwa dalam kegiatan susur sungai di sejumlah kota di Indonesia.
Sehubungan hal itu, maka tidak mengherankan, bila kemudian, memantik kritikan dari para pengamat terhadap kegiatan-kegiatan di luar kelas tersebut.Â
Namun demikian, bagi kelompok kedua memandang bahwa musibah yang terjadi itu, bukanlah akibat dari program kegiatan pembelajarannya. Tentunya, model dan strategi pembelajaran sebagai model pendidikan adalah tetap baik. Hal yang lemah dan sering terabaikan, (1) standar operasional prosedur pelaksanaan pembelajaran di luar, dan (2) kedisiplinan para penyelenggara dalam pelaksanaan pembelajaran di luar kelas. Â Dengan kata lain, perbaikan terhadap prosedur dan mekanisme kerja para penyelenggara itulah yang perlu diperbaikinya, dan bukan menghilangkan model pembelajarannya.
Lantas, bagaimana dengan kritikan lainnya, khususnya terkait dengan motivasi dibalik studi tour tersebut ? Taruhlah, ada kritikanm bagaimana membedakan antara motif piknik dengan motif belajar di luar kelas ? bagaimana membedakan hasrat liburan dengan hasrat belajar di lapangan ?Â
Tanpa bermaksud untuk membela dunia pendidikan untuk tetap menyelenggarakan kegiatan wisata tersebut, namun ada beberapa kondisi yang memang perlu dipahami oleh komentator yang ada di luar dunia pendidikan.
Pertama, tidak semua sekolah memiliki fasilitas atau sumber belajar yang ril dan lengkap. Sebuah sekolah keterampilan, bukanlah pabrik atau perusahaan. Oleh karena itu, belajar langsung di pabrik atau perusahaan yang nyata, diharapkan (ini salah satu motivasi dasar dari pembelajaran luar kelas) untuk memberikan pengalaman nyata kepada peserta didiknya. Seorang mahasiswa Geografi, tidak mungkin hanya belajar dari video tentang gunung api. Studi lapangan atau terjun langsung ke lokasi nyata, adalah pembelajaran ril untuk mengokohkan kompetensinya.
Kedua, bila ada proses belajar yang menyenangkan, akankah kita bisa memanfaatkan situasi serupa ini ? artinya, dalam benak para pendidik, ada pemikiran bahwa proses belajar tidak selalu harus seperti seorang peneliti yang ada di ruang laboratorium. Seorang tenaga pendidik dituntut untuk bisa menemukan model pembelajaran yang menyenangkan, tetapi mengarah pada target dan tujuan pembelajaran. Bukankah ada pemikiran  bahwa  alam adalah laboratorium terbuka, kehidupan adalah universitas-paling nyata, serta fakta adalah informasi yang paling akurat bagi penguatan pengetahuan seseorang. Bila demikian adanya, lantas apa kelirunya jika untuk menggenapkan pengetahuan di dalam kelas, kemudian para guru melakukan pembelajaran di luar kelas, termasuk study tour atau studi lapangan sebagaimana yang dilakukan selama ini ?