Di tengah hiruk pikuk penerimaan peserta didik baru, merupakan kesempatan emas bagi seorang tenaga pendidik untuk bisa berbincang dengan calon orangtua. Eh, atau kebalik ya, bahwa di masa penerimaan peserta didik baru ini, ada kesempatan emas bagi orangtua untuk curhat dengan panitia PPDB, atau guru yang akan dijadikan alternatif untuk belajar anaknya. Ya, Â maksudnya, penulis pernah mengalami dua posisi serupa itu. Satu kali dijadikan tempat ngobrol dan di lain waktu, malah berposisi sebagai orangtua siswa, dan kemudian menyimak curahan hati pada orangtua dihadapan guru-guru di sekolah.
Ah, pokoknya, begitulah faktualnya. Momentum PPDB itu, bisa dimanfaatkan sebagai ajang pertemuan antar kelompok kepentingan, baik orangtua, maupun guru, maupun kelompok lainnya.
Hal yang menarik dari pengalaman itu, sebagai penguping, sempat pula mendengar, bahwa ekonomi masyarakat kita ini, masih dalam tahapan tertatih-tatih. Dampak pandemi masih terasa, dan efek pembangunan berkelanjutan, belum ternikmati dengan baik. Tetapi, masih ada sisa-sisa yang menggairahkan masyarakat, yaitu adanya program padat karya di kelurahan.
Seorang pengurus LPM, yang didampingi beberapa orangtua calon siswa baru, datang dan bercurhatan dengan panitia. Mereka menceritakan bahwa kondisi ekonominya belum pulih. Andaipun ada bantuan, seperti bantuan program "pekarangan bagus", belum pula menunjukkan hasil yang maksimal.Â
Konsepnya menarik. urban farming, dengan maksud dan tujuan untuk memaksimalkan luas pekarangan rumah yang ada untuk ragam jenis tanaman sayur atau buah-buahan produktif lainnya. Ide itu memang duplikasi dari program Buruan SAEÂ (Sehat, alami dan ekonomis). Buruan SAE dalam bahasa Indonesia, artinya pekarangan rumah yang bagus. Di beberapa daerah di Jawa Barat, seperti di Kabupaten Bandung, program ini cukup berhasil. Namun, pada sejumlah daerah, termasuk di sekitar sekolahku ini, menurut keluhannya, banyak yang mengalami kegagalan.Â
Lha, kenapa ?
"tidak semua orang bisa bertani.." akunya. Dengan sedikit menuturkan kisahnya, sebagai orang yang terbiasa pabrikan, kemudian dipaksa harus merawat tanaman di depan rumah. "Jangankan kebun sayuran, pot bunga saja, gak punya", ungkapnya lagi.
"ya, kalau tidak ada yang membimbing, gimana mau tumbuh.." ungkap yang lainnya, "awalnya saja, ramai, ke sini-sininya mah, ya... gimana lagi..."
"tapi, modalnya kan sudah dikasih ?" tanya yang hadir.
"emangnya gede?", jawab yang hadir, dengan nada serempak, "lha, hanya cukup untuk memulai..."
Begitulah kira-kira perjalanan obrolan kami saat itu. Inti kisah, warga banyak yang terlibat dalam program Buruan Sae. Di sejumlah daerah berhasil, tetapi di beberapa daerah masih tertatih-tatih.