Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aparat Panik - 1 : Sang Komandan

6 Mei 2024   04:07 Diperbarui: 6 Mei 2024   07:23 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya, sebagai warga Negara tidak memiliki kekuatan apa-apa. Karena itu, adalah wajar bila mencari dan menemukan jalur curhatan yang bisa dijadikan ruang ekspresinya. Bagi warga negara, saat satu pintu komunikasi terhambat atau tertutup, maka akan dicari sedemikian rupa sehingga, ada jalur alternatif yang bisa dimanfaatkannya.

Seperti hari ini, dan di sini. Ruang curhat, dalam sebuah media tulisan, menjadi ruang ekspresi yang paling bersahabat. Walaupun penulis sendiri tidak begitu yakin dengan curhatan ini, apakah ini disebut ekspresi politik, etik, sosial, atau kefrustasian. Hal penting dan menjadi pokok soal yang ada dalam benak penutur, yakni kesempatan mencurahkan persepsi dan pemahaman mengenai ragam hal yang terjadi, pada hari-hari terakhir.

Memang, kemampuannya sekedar curhat. Curhat inilah satu-satu senjata yang bisa digunakannya. Mudah-mudahan, kendati lebih merujuk pada pengalaman pribadi, atau pengalaman subjektif, namun curhatan ini tetap bisa digunakan sebagai bagian penting dalam memotret perilaku warga negara dalam membela bangsa, harga diri, martabat, dan ego manusia dan kemanusiaan, yang  tumbuhkembang di tengah hiruk pikuk kebangsaan ini.

......

Sebagai warga Negara, saya tidak memiliki kekuasaan atau lebih tepatnya tidak memiliki banyak kekuatan. Tidak banyak kuasa yang dimiliki, kecuali berkuasa untuk menjaga kedaulatan nalar dan nurani ini tetap mau hidup dan bicara. Itulah kekuasaanku saat ini. Sehingga, saat tangan ini dibelenggu, atau kaki ini diikat dan terikat, atau mulut ini dibungkam oleh kekuasaan, namun nalar dan nurani ini masih tetap berkuasa, setidaknya dirawat untuk tetap memiliki kedaulatan dalam berekspresi dan mengapresiasi.

"Kamu ngeyel..." bentaknya, "Saya pemilik wilayah ini..." ungkapnya dengan nada keras, layak sebagai seorang aparat militer. Suara lantang, menggema di seputaran tempat kemah Pendidikan madrasah saat itu. Suara itu, benar-benar sangat menggema, mengalahkan pengeras suara yang dipakai para panitia. Pengeras suara yang sedari tadi pagi di pakai pun, serta merta berhenti, saat sang Komandan mengumpulkan seluruh panitia kemah Pendidikan. 

Suara lantang, mungkin itulah yang ingin dipertontonkan sang "Komandan". Tetapi, bagi kami, suara itu, terasa sebagai sebuah bentakan emosional. Pernyataan yang dilakukan secara berulang-ulang, dan suara yang cenderung dominan serta menekan pandangan beda dari dirinya, muncul bak senapan otomatis yang memuntahkan mesiu tanpa kompromi. Cukup sang Komandan yang berbicara,  sementara empat atau lima orang guru madrasah, termangu, dan terdiam dihadapannya. Sebagian diantaranya ada yang merunduk, kaget dan tidak mengerti dengan perbuatannya. Sementara yang  lainnya, masih tetap memberikan tanggapan terhadap ragam komentar dari Sang Komandan.

Karena tanggapan balik dari sebagian panitia Madrasah itulah, sang Komandan seakan murka, dan kemudian mengeluarkan kalimat-pengunci kekuasaannya secara berulang-ulang. "Kamu ngeyel..., kamu tahu kan, Saya pemilik wilayah ini..."

"gak, maksudnya itu, kenapa, diberhentikan, ada masalah apa?" tanyaku lagi.

"mana SOP kamu, kalau ada anak-anak, kenapa-kenapa, memangnya kamu tanggungjawab...? Sudah, semua kegiatan hentikan. Ini perintah..!" ungkapnya lagi, dengan mata membelalak, dan telunjuk mengarah lurus ke wajah kami semua yang hadir di depannnya.

Terkisahkan. Saat itu, ada seorang siswa yang jatuh sakit dengan derita asma. Sehingga keadaannya agak sedikit merepotkan. Tenaga Kesehatan yang ada di poliklinik tempat Pendidikan militer tidak cukup mampu menangani kasus serupa itu, sehingga siswa yang sakit perlu dirujuk ke rumah sakit.

"saya akan tanggungjawab. Ada panitia yang bisa mengurus itu ke rumah sakit.." ungkapku kepada Sang Komandan. Ucapan itu, dilanjutkan dengan memerintah salah seorang panitia guru untuk mengoperasikan kendaraan madrasah mengantarkan siswa ke rumah sakit terdekat. "Panitia yang, seperti biasa, cek Kesehatan teman-teman, dan anak-anak PMR (palang merah remaja), turun dan rawat anak-anak.." titah panitia lain, melanjutkan sikap kami saat itu.

Dalam situasi serupa itu. Sang Komandan masih tetap berisik, ngomel sana-sini.  Mengeluarkan umpatan, bahwa panitia tidak memiliki kompetensi melatih fisik. "Kami tahu dan paham kondisi ini. Kamu tidak memiliki pengetahuan melatih fisik. Makanya, lihat anak-anak banyak yang jatuh sakit dan celaka. Coba kalau kamu nurut SOP yang kami punya, tidak akan ada kejadian seperti ini..." omelan dan hardikan, yang sama sekali tidak terpahami oleh panitia. Masih bingung dan tidak jelas, ke mana arah pembicaraan di maksud.

Sekedar informasi. Di pagi itu, menurut jadwal acara, mulai pukul 07.00 -- 11.00 WIB, agendanya adalah jurit medan. Materi acaranya sangat sederhana. Berjalan di selokan air, merayap, merangkak dan baris berbaris. Tidak ada kontak fisik. Kontak fisik adalah tindakan yang terlarang dalam acara itu. Jarak tempuh pun, masih bisa dijangkau. Tidak lebih dari 2 jam untuk perjalanan berjalan santai. Hanya karena ada haling rintang dan pos penugasan, mungkin jadi perjalanan bisa mencapai 3 jam kurang lebih dalam putaran kegiatan di maksud. Materi acara ini, dalam suasana medan yang landai, cuaca yang sejuk bersahabat, alam yang berrumput, ruang terpantau dan jarak tidak jauh dari lokasi panitia utama, bahkan gerak-gerik panitia pos pun sangat terkontrol, rasanya tidak ada masalah yang perlu diperdebatkan.

Satu hal yang memang factual. Kelelahan dan kurang tidur, serta tidak terjaganya asupan peserta didik, potensial menjadikan fisik peserta didik menurun. Selain factor mental, namun beberapa factor itulah yang bisa menjadi penyebab jatuhnya sejumlah peserta didik dalam kegiatan tersebut.

Panitia paling senior, berdiri di samping, menyentil tanganku, dan memberikan kode. "malu sama anak-anak.." ungkapnya secara lirih. Sebagai senior yang juga pimpinan rombongan dari madrasah saat itu, mengingatkan pada situasi, karena disamping kanan-kiri banyak siswa kami berdiri. Beliau merasa risih, saat anak-anak peserta kemah Pendidikan melihat guru-gurunya dibentak aparat militer di lokasi kegiatan.

Karena kode dari pimpinan itulah, sesaat kemudian suasana mereda. Kami yang hadir dan berada di kerumunan itu, menurunkan tensi ketegangan. Atau lebih tepatnya harus ada diantara kami yang bersedia menurunkan tensi kesalahpahaman pagi hari itu, untuk segera bisa menemukan solusi terbaik untuk keberlanjutan kegiatan kemah pendidikan.

Saya sadar. Dengan menurunkan tensi dan hasrat berdialog, bukanlah solusi tepat untuk menemukan kebenaran. Tetapi, demi kebaikan kita, kebaikan orang lain, atau kebaikan bersama, rasa-rasanya penurunan ketegangan atau ego menjadi cara yang cocok untuk dilakukan. Hemat kata, andai filosof berkata bahwa nilai keagungan itu ada pada kebenaran, kebaikan dan keindahan, ternyata dalam prakteknya, mempromosikan nilai-nilai tersebut perlu didukung dengan kemampuan mengurangi egoism sehingga tensi ketegangan dapat dikurangi, dan nilai kebajikan menguat ke permukaan.

Seniorku, adalah pimpinan. Beliau mengambil keputusan untuk meredakan situasi, dan mengambil langkah manut terhadap situasi. Kegiatanpun di jeda beberapa saat. Kami pun mengambil posisi pasif, dengan menunggu situasi, sambil mengurusi beberapa anak-anak yang mengalami masalah Kesehatan baik yang ada di tenda, maupun yang dibawa ke rumah sakit.

"dihadapan orang serupa itu, kita akan tetap tersudutkan...." ungkap kawan kita yang  lain, selepas kami bubaran dari intrik kesalahpahaman pagi itu. 

Mendengar komentar itu, ada yang tertawa terkekeh-kekeh, dan ada pula yang menertawakan 'kematian identitas' rekan mereka yang terbiasa dengan vokalitas nalar yang kuat, namun di sore itu, dibungkam oleh suara ledakan yang menyeruak mendampingi selongsong senapan yang ada dipingganggnya.  

Sementara yang lainnya, ada yang sekedar senyum sinis, merasa menang melihat rekannya sendiri yang selama ini dikenal vocal, terbisu untuk berapa lama.

Sambil melontarkan sindiran ketir terhadap diriku, rekan kita yang satu ini berujar "walaupun kita harus mengubur kebebasan berpikir kita....". Sambil berjalan menghindar dan menjauh dari kerumunan intrik-kesalahpahaman tadi.

Secara pribadi, saya merasa tidak puas dengan keadaan itu. Saya merasa belum selesai membicarakan masalah ini, tetapi kondisi mendesak untuk memaksaku lebih memilih mengalah daripada memanaskan suasana saat itu. Sesama rekan pun sudah saling mengingatkan bahwa situasinya sangat tidak menguntungkan untuk mengembangkan nalar dan nurani, tetapi lebih ke ego-kekuasaan yang dimiliki setiap orang.

Untuk kelanjutan nasib kegiatan di hari itu, dan hari berikutnya, kemudian tim inti dari guru, melakukan komunikasi dengan pihak penguasa wilayah. Tugas pokok dari tim inti adalah mengklarifikasi dan merumuska kesepakatan ulang, terkait kegiatan kemah Pendidikan saat itu, di tempat itu. Karena, kelanjutan program ini, akan menjadi bagian dari pertanggungjawaban kami kepada orangtua siswa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun