Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Feminisme dalam Film Horor

29 April 2024   04:15 Diperbarui: 30 April 2024   19:26 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : pribadi, diolah dari data

Dalam sebulan terakhir ini, masyarakat kita diramaikan dengan beredarnya film horor berjudul Badarawuhi. Badarawuhi adalah lelembut atau siluman ular yang ada di desa penari. Dia kerap memilih manusia untuk dijadikan dawuh atau anak buahnya di alam gaib dengan berbagai cara. Saat seseorang menjadi dawuh, jiwanya akan terperangkap di alam lain. Film  Badarawuhi di Desa Penari adalah film horor Indonesia tahun 2024 yang disutradarai oleh Kimo Stamboel berdasarkan cerita viral berjudul KKN di Desa Penari karya SimpleMan. Film produksi MD Pictures ini dibintangi oleh Aulia Sarah, Maudy Effrosina, dan Jourdy Pranata.

Kali ini, kita tidak dimaksudkan untuk mengulas atau meresensi film. Tidak dimaksudkan untuk hal itu. Hal yang ingin disampaikan di sini, adalah sebuah tanggapan lain atau komentar lain dari sisi teori sosial terhadap promosi atau kampanye film tersebut. Analisisnya p pun sekedar merujuk pada brosur atau edaran cuplikan film yang terkait dengan film tersebut, dan atau film serupa, khususnya yang bergenre horor.

sumber : pribadi, diolah dari data
sumber : pribadi, diolah dari data

Perhatikan dengan seksama, kedua data tersebut. Adakah sesuatu yang unik dari kedua gejala tersebut ? dalam data digital tersebut, ada sejumlah judul film yang sudah beredar di negeri kita, misalnya Rumah Iblis, Sosok Ketiga, Rumah Dara, KKN, Desa Keramat, Janin, dan Suster  Keramas. 

Bila dicermati dengan seksama, dan memanfaatkan sudut pandang penampakkan dalam karya visual itu, muncul sebuah pertanyaan pokok, yakni mengapa banyak menampilkan sosok perempuan sebagai bagian penting dari kisah-kisah horor tersebut ?  Adakah  hal itu, menjadi bagian dari sebuah persepsi sosial dan budaya mengenai posisi perempuan, sebagai sumber masalah, bagian dari masalah, atau korban penderitaan sehingga melahirkan masalah yang berkepanjangan ?

Dari sudut ilmu sosial--meminjam catatan dari Donald B Calne (1999:259) dengan meminjam tulisan dari Barbara Rosen-- dalam tradisi masyarakat tradisional pelaku sihir umumnya digambarkan sebagai perempuan. Kaum perempuan kerap lebih dominan diposisikan sebagai tukang sihir. Jika kita mengklik kata 'dukun', gambar yang muncul dan berseliweran di media digital adalah tokoh lelaki. Terlebih lagi kalau diimbuhi dengan dukun cabul. Tetapi, kalau kita mengkliknya kata 'sihir', yang muncul adalah nenek sihir atau kaum perempuan. Maka dari itu, nenek sihir lebih terkenal dibanding dengan kakek sihir, kuntilanak diperankan oleh perempuan dibanding dengan laki-laki.  

Realitas atau fenomena ini, mengandung beberapa tafsir yang bisa dikedepankan. Pertama, makhluk halus, baik itu kuntilanak maupun makhluk suster ngesot, umumnya mengisahkan kisah lanjutan dari penderitaan yang pernah dialaminya di fase hidup sebelumnya.  Mereka adalah pelaku korban kekerasan, baik di dalam keluarga maupun kekeresan seksula di masyarakat. Oleh karena itu, sebagai upaya balas dendam atau pembelajaran atau perlawanan kepada mereka yang masih hidup, mereka tampil sebagai makhluk halus yang melakukan tindak pembalasan atau teror kepada manusia.

Dengan kata lain, kehadiran film serupa itu, dengan menampilkan kaum perempuan sebagai pelaku utamanya, menunjukkan gambaran pemahaman dari korban maskulinitas kepada kaum perempuan. Maka dari itu pula, pelaku kejahatan ilmu hitam (ilmi sihir atau horor) adalah kaum perempuan.

Pada sisi lain, yang perlu juga dikaji dengan seksama, ada indikasi bahwa horor, seksualitas dan sensualitas, kerap kali berhimpitan dengan erat.  Pada sejumlah film, setidaknya alur ceritanya, terkadang lebih banyak diawali oleh sensualitas atau keindahan alam, dan keindahan personal. Selepas itu, muncul seksualitas, dan pada tahapan akhirnya adalah horor. Alur kisah ini, kerap kali menjadi sesuatu yang menjadi pakem cerita misteri atau horor di negeri kita. Dalam pandangan Donald B Calne, jangan-jangan, dengan menampilkan kecenderungan serupa itu, pada dasarnya yang sedang dieksploitasi itu adalah obsesi seks (seksualitas) bagi kaum lelaki.

Andaipun ada kisah Siluman Buaya Putih, atau Ular Putih, bisa jadi yang jadi korbannya adalah lelaki. Tetapi, penampilan dari buaya putih dan ular putih tersebut, menampilkan tiga karakter pokok yang mendasar tadi, yakni sensualitas, seksualiats dan horor (teror). Alur kisah singkatnya, ada lelaki bertemu seorang perempuan cantik, kemudian tertarik dan ngajak ngobrol. Selepas ada ketertarikan, ada hasrat untuk melakukan hubungan yang  lebih. Saat ada intrik seksual itulah, sang perempuan berubah wujud dari penampilan sensualnya ke wujud horor. Itulah alur sederhana dari film-film serupa ini, dan alur kisah itu, kerap kali hadir dalam konteks film-film bergenre seperti ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun