Seorang anak bertanya, mengapa ada anak yang dulunya, belajar biasa-biasanya, bahkan dikenal nakal, tetapi hari ini, sukses dan memiliki sejumlah hal yang tidak dimiliki anak pintar di kelas ? pertanyaan klasik, nan juga kerap kali muncul lagi ke permukaan.
Tentunya, bagi seorang tenaga pendidik atau bagi seorang guru, pertanyaan itu, sangat dilematis. Bila kita tidak menemukan benang merah masalahnya, akan mudah kejebak pada pemikiran yang tidak proporsional, atau malah bisa menyesatkan.Â
Eh, maaf, mungkin bukan menyesatkan, melainkan akan terjebak pada pikiran yang anti mainstream. Artinya, dalam pemahaman umum, orang sukses itu adalah hak dari orang baik, soleh, pinter, terampil dan lain sebagainya. Sejumlah kelakuan baik dan positif nempel pada orang itu, dan kemudian diberi 'julukan' sebagai pemilik kesuksesan di masa depan. Tetapi, pada kenyataannya, ternyata gelaran serupa itu, tidaklah berlaku. Ada saja, orang-orang yang masuk kategori itu, malah masih mengalami kesulitan hidup, dan ada juga yang tidak memiliki gelaran hal serupa itu, berada dalam posisi yang sedang diuntungkan dan menguntungkan.
Lantas, soalannya, mengapa hal itu terjadi ?Â
Sebagai anak remaja, ada yang suka merasa iri atau cemburu, bila melihat artis berpenampilan biasa-biasa saja, namun memiliki pasangan hidupnya yang cantik nan jelita. Atau, ada yang perempuannya biasa saja, namun pasangannya itu tampan rupawan nan kaya raya. Iri bila melihat hal serupa itu. Kalau melihat pasangan cantik-tampan, itu sudah biasa dan orang akan merasa sebagai sesuatu hal yang wajar. Pertanyaan terhadap pasangan pertama tadi, lha, mengapa hal itu bisa terjadi ?
Sebagai seorang karyawan pun, bisa melihat sebuah paradoks hidup. Â Ada rekan kerjanya yang cerdas, loyal dan kompeten. Namun tidak memiliki karir yang moncer, dari dulu hingga sekarang masih duduk diseputar level yang itu-itu saja. Semenatra, karyawan lainnya ada yang biasa saja, ternyata memiliki percepatan karir yang luar biasa. Dalam hitungan waktu yang tidak begitu lama, sudah duduk di beberapa pucuk kekuasaan yang luar biasa. Lha, mengapa hal itu bisa terjadi ?
Sebagai seorang tenaga pendidik pun, bisa mengalami dan melihat kenyataan yang tak jauh beda dengan hal itu. Si Fulan, dulunya adalah anak rankingan di kelas. Hampir bisa dipastikan, dalam setiap dibagi buku laporan hasil belajar, rangking kelas pastinya dia dapatkan. Mungkin tak selamanya di puncak prestasinya, tetapi ranking kelas pasti didapatnya di bagian pucuknya. Namun sampai tulisan ini diguratkan di sini, kesejahteraan hidup dan kesuksesan hidupnya, masih kalah dari rekan sekelasnya yang dulunya jauh dibawah kemampuan orang tersebut. Soalan yang klasik tadi muncul lagi, lha mengapa hal ini terjadi ?
Terkait hal ini, ada sebuah pepatah klasik yang menarik dari Raden Ajeng Kartini. Kalimat itu ditulisnya di tahun 1899, dia mengatakan. "he who dares not, gains not" (siapa yang tidak berani, dia tidak akan mendapatkan keuntungan). Atau dalam bahasa kita, siapa yang tidak memiliki keberanian mencoba, dia tidak akan mendapat kesempatan untuk berhasil atau menang.Â
Kalau kita tidak memiliki keberaian untuk berlomba, kita tidak akan memiliki kesempatan untuk memegang tropi.
Jika seseorang tidak berani mencoba untuk menyatakan cinta pada seorang perempuan yang tercantik sekalipun, maka dia tidak akan memiliki peluang untuk bisa mendapatkannya.
Hanya mereka yang memiliki keberanian mencoba, yang memiliki peluang meraih keberhasilan, kesuksesan, dan kemenanga. Demikianlah, kira-kira, pesan moral dari RA Kartini yang disampaikan di abad XIX dulu.