Halaman pertama yang tiba. Seorang anak datang dengan ceria, diantar ayah dan bunda. Menggunakan roda lebih dari dua. Bukan hanya itu yang dia dapatkan setiap harinya. Ditambah bekal yang jumlahnya tak terkira. Bahkan, pulangpun, dia sudah dijemput ayah atau bunda. Tampaklah, seakan itulah hidup anak yang sarat dengan rasa Bahagia.
Halaman lainnya datang mengiringi. Seorang anak, berjalan dijalan sendiri. Tanpa ayah ibu, mendampingi. Namun, tampak tetaplah ceria dihati. "kasihan, pada ayah ibu, kalau capek", ungkapnya lirih, saat banyak orang bertanya, terhadap kelakuannya selama ini.
Halaman lainnya datang menjelma. Sayangnya, hanya sepotong cerita ada dalam lembarannya. Orangtua datang berdua, ke sekolah anaknya yang selama ini berada. Wajahnya, kurang bersahabat, dan tidak ceria. Karena sang anak, lama tak pernah berjumpa. Entah, ada cerita apa selanjutnya, lembaran itu hilang, tak ada beritanya....
Entah halaman keberapa sudah dia buka. Namun di situlah, dia melihat orangtua yang gusar. Mendampingi anaknya menuju sekolah yang dulu dia daftar. "kamu harus giat dan tetap sabar.." ungkap sang orangtua dihadapan anak yang tampaknya belum juga sadar, bahwa dirinya kini masih memiliki kewajiban untuk belajar.
Dari pojok Pustaka, datanglah sang kancil, yang mencuitkan sebuah kata, "kematangan dihasilkan dari keberanian menghadapi kenyataan". Sebuah cuitan, yang hingga kini, masih tetap menjadi misteri dalam diri seorang tenaga pendidik, yang piket di selasa pagi. "mungkin, itulah kenyataan pahit untuk meraihnya, manisnya hidup", sang kancil bertutur lagi, "pahit dan manis dua rasa beda, tetapi kadang saling beriringan mengisi kehidupan..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H