Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Injury Time Kampanye, Sisir, Sasar, dan Sosor Masyarakat

1 Februari 2024   04:37 Diperbarui: 1 Februari 2024   05:09 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelang akhir masa kampanye, potensi muncul gerakan-gerakan promosi politik yang makin meningkat. Setidaknya, hal itu dilakukan, untuk mematangkan kampanye politik yang selama ini disampaikan, dengan penuh harap, bisa menghasilkan raihan suara sesuai dengan yang diinginkan. Karena itu tidaklah mengherankan, bila kemudian gerakan kampanye politik di akhir masa pesta demokrasi ini, akan semakin gencar, dan meningkat.

Untuk memaksimalkan jumlah suara, sejumlah strategi dilakukan oleh juru kampanye nasional, dan daerah. Setidaknya, mereka melakukan gerakan kampanye strategis dan massal untuk menyisir kelompok-strategis yang masih belum banyak tersentuh. Ada yang menyisir kelompok sosial melalui kelompok elitnya, ada yang menyisir melalui media sosial untuk menjangkau kelompok sosialnya secara langsung.

Tidak mengherankan, bila kemudian sowan ke kelompok sosial, dan atau tampil di ragam platform media sosial dilakukan, dengan maksud dan tujuan menyisir kelompok-kelompok yang dianggap potensial secara suara-politik, namun dirasa belum banyak tersentuh melalui kampanye konvensional selama ini.

Namun, tidak jarang pula, mereka melakukan pendekatan spesifik, yaitu sekedar menyasar kelompok potensial strategis belaka. Tujuannya sangat jelas, yaitu mengukuhkan, mengokohkan atau memantapkan keyakinan pilihan politik. Hal ini, setidaknya banyak dilakukan oleh kalangan caleg, baik pusat, daerah maupun kabupaten/kota. Bagi kelompok ini, harapan untuk melebarkan sayap dengan menyasar pasar politik yang lebih luas, bisa  mengorbankan biaya yang tidak cukup kecil.  Tidak semua memiliki kekuatan serupa itu. Karena itu, pendekatan yang dilakukannya adalah menyisir-kelompok-potensial-pasti untuk bisa berpihak kepadanya.

Bagi calon angota legislatif, tidak membutuhkan suara sebanyak-sebanyaknya. Mereka tidak memimpikan hal itu. Jumlah suara yang diimpikannya sekedar mencukupi untuk bisa menduduki suara legislatif di jenjang yang diinginkannya. Jumlahnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang ambang batas masuk parlemen. Sehubungan dengan pemikiran ini, para kandidat lebih memokuskan pada pemaksimalan sumberdaya politik untuk mendapatkan jumlah suara ambang batas parlemen. "buat apa banyak-banyak, bila kekuatan data terbatas..." mungkin itulah, salah satu pikiran pragmatisnya.

Hal berbeda dengan kandidat capres/cawapres. Para kandidat ini, akan berusaha  keras memaksimalkan sumberdaya politiknya untuk bisa memaksimalkan suara sebanyak-banyaknya. Terlebih lagi, jika dalam benak dan timnya ada obsesi satu putaran. Maka karena itu, gerakan menyasar kelompok yang belum tersisir menjadi sangat penting, dan menjadi puncak gerakan kampanye di masa injury time ini.

Lebih hebohnya lagi, gerakan itu kemudian ditutup dengan gerakan sosor dengan berbagai teknik kampanye yang dianggapnya sebagai kampanye paling pamuncak. Kampanye paling pamuncak yang dianggap sebagai paling-efektif untuk negeri ini. Apa itu ?

Menyosor calon pemilih dengan serangan fajar. "aku mah pilih ini, sebab sudah punya jaketnya.." ungkap salah satu pemilih pemuda milenial, "Gak, aku mah pilih ini, sudah ada amplopnya.." pekik yang lainnya lagi. Suara itu kedengaran pada kelompok anak muda yang duduk-duduk di teras tongkrongan di pinggir jalan. Suara itu tidak terkonfirmasi dengan faktual. Setidaknya, saya sendiri tidak melihat benda dan bentuknya. Tetapi, ungkapan itu menjadi sebuah lelucon-politik yang banyak dikisahkan oleh anak-anak muda saat ini.  

Menyosor dengan teknik-jitu dalam kampanye ini, sudah tentu adalah senjata-pamungkas yang menjadi andalan beberapa kandidat caleg atau capres/cawapres. Kendati ada keraguan pada mereka mengenai efektivitasnya, namun masih ada keyakinan bahwa masyarakatnya yang ada saat ini, masih bisa digoyang oleh hal-hal material-kecil. Misalnya dengan makanan, minuman, amplopan, atau barang-barang yang dianggap berharap oleh mereka. Keyakinan ini, masih ada di kalangan kandidat, dan masih bisa terjadi pula di tengah masyarakat kita saat ini.

Pertanyaan kritisnya, akankah ada caleg, capres/cawapres yang memanfaatkan kehilapan nalar demokratis masyarakat ini sebagai objek politiknya sendiri ? bila demikian adanya, berarti ketidakmatangan masyarakat dalam berpolitik, masih dimanfaatkan dan atau malah dipelihara oleh elit dan calon elitnya sendiri. Namun, bila kita sama-sama peduli kepada masa depan demokrasi kita, kelemahan dan kehilapan masyarakat itu hendaknya tidak dijadikan sebagai sebuah peluang, melainkan tantangan dalam membangunkan kesadaran demokrasinya supaya lebih lebih.

Di fase injury time ini, apakah bawaslu akan lebih tajam matanya ? para kandidat akan lebih tajam sikap pragmatis dalam memanfaatkan kelemahan rakyat ? ataukah akankah muncul kepedulian bersama untuk sama-sama mematangkan sikap demokrasi  masyarakat dan bangsa ini ? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun