Terakhir, atau ujung dari pembahasan kita kali ini, ingin menekankan bahwa peningkatan budaya demokrasi, memang tidak mesti diawali dari pemilihan umum. Karena pemilihan umum itu, bukan awal-mula jalannya demokrasi. Pemilihan umum adalah final untuk mengakhiri rezim dan mengawali rezim. Itulah pemilu. Sedangkan pembudayaan nilai-nilai demokrasi, harus dimulai dari dunia pendidikan, dan sistem rekrutasi anggota partai oleh partai politik.
Sayangnya, memang, seperti dalam pilpres kali ini, partai politik merekrut anggota partai dan juga calon-legislatifnya, tidaklah berbasis pada kemampuan politik atau kematangan politik, melainkan pada kekuatan modal untuk menjalankan roda kampanye  atau promosi politik. Inilah problema kita saat ini. Sehingga tuntutan partai kepada caleg pun, relatif tidak mengarah pada aspek kematangan politik atau kemampuan politik para kadernya.
Ada yang menyebut, kader politik dalam budaya politik kita masih bersifat karbitan. Karena modal besar, ujug-ujug nyaleg, dan ujug-ujug jadi ketua partai, atau kandidat dalam beberapa perhelatan politik. Padahal, publik tahu, tidak ada proses matang pendewasaan berpolitik. Karena pertimbangan politik tertentu, mereka bisa mengubah struktur kepartaian yang lama dibangun oleh kader-kader organik lainnya.
Mengapa demikian ? nah, itulah negeri kita saat ini ....
ssssssssst.. untuk disclaimernya, kita pun, tetap mengakui, bahwa dibalik semua yang dituturkan dalam wacana ini, ada sejumlah kader dalam pilleg yang terlahir dari sebuah kematangan, dan bisa menunjukkan kiprah yang matang dalam merawat dan meruwat demokrasi di negeri kita !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H