Ada yang mengatakan, kita adalah negara yang mengalami krisis nilai, atau  krisis moral. Setidaknya munculnya ragam pelanggaran, sebagaimana yang ditunjukkan oleh para pejabat negara, menguatkan hal seperti ini.  Korupsi, Kolusi, Nepotisme, sektarianisme, dan juga cenderung sewenang-wenang. Atasnama sebuah kebebasan berpendapat, dan atau hak imunitas seorang pejabat negara, dapat bicara seenaknya sendiri, tanpa memperhatikan nilai dan perasaan orang lain.
Memang layak untuk diajukan pertanyaan secara kritis, terhadap nalar para pejabat negara ini.
Pertama, setuju, bahwa seorang kepala negara atau sebagai politisi memiliki hak imunitas. Secara sederhananya, hak imunitas adalah hak anggota lembaga perwakilan rakyat dan para menteri untuk membicarakan atau menyatakan secara tertulis segala hal di dalam lembaga tersebut tanpa boleh dituntut di muka pengadilan. Namun demikian, akankah hak ini BISA digunakan tanpa memperhatikan nilai, norma atau budaya masyarakat yang menjadi bagian pilar kebangsaan ini ?
Tidak jarang, kita menengar, seorang legislator dari salah satu daerah, mengeluarkan pandangan yang melecehkan budaya atau nilai dan norma agama atau etnis lain. Atas nama imunitas dan kedaulatan budaya, merasa benar dengan tindakan dan sikapnya. Bila demikian adanya, pertanyaan kritis kita hari ini, dapatkan hak imunitas itu dikoreksi oleh kewajiban pengakuan terhadap kedaulatan budaya dan norma masyarakat ?
Kedua, setuju, bahwa negara kita adalah negara hukum, maka karena itu, setiap tindakan kita dan pikiran kita, tetap harus mengacu pada norma hukum positif yang berlaku di negara kita. Dengan prinsip dasar ini, maka penyelenggaraan negara, baik di level pemerintah pusat maupun daerah, sejatinya harus tetap merujuk pada ketentuan dan keberlakuan hukum yang ada di negara kita ini.
Namun sekali lagi. Saat masalah hukum menjerat, kadang kita diherankan dengan sikap dan tindakan pejabat negara kita ini. Dengan atasnama hukum masih bisa bicara, "saya tidak akan mundur, sebelum ada keputusan hukum yang tetap..", atau, kejadian yang baru saja terjadi, "Satpol PP tidak melanggar hukum, walaupun menyatakan dukungan pada satu paslon.."., atau "kendati melanggar etika, saya tidak akan mundur, karena tidak ada ketentuan yang mengatur hal itu.."
Pada level seperti ini, kadang saya mikir, jadi, apakah dalil mengenai negara hukum itu, menomorduakan etika atau moral, sehingga ketika seseorang dianggap melanggar  etika maka 'sanksinya' biasa saja ? apakah, jika seseorang melanggar etika, maka dia masih boleh tetap menjabat ?
Jawaban untuk pertanyaan sangat jelas. Sepanjang tidak ada aturannya, maka siapapun masih tetap berhak dengan jabatan itu, kendatipun sudah dianggap melanggar etika atau norma. Persoalannya kita lanjutkan lagi, bila demikian adanya, maka norma hukum dengan norma etika, sejatinya harus saling menjelaskan dan mengatur, bukan membutuhkan kesadaran etika oleh ketentuan hukum formal.
Alangkah indahnya, mendengar cerita di negara Jepang, yang mundur, gara-gara ada dugaan penyuapan sponsor olimpiade, atau menteri di Jepang mundur karena ada anak buahnya yang korupsi, atau pejabat negara mundur karena diketahui ditraktir makan oleh pengusaha.Â
Oke, itu berita-berita yang  menyebar di media sosial kita. Kebenarannya kita bisa telurusi bersama. Tetapi, pesan moral yang tertangkap dan ingin dibicarakan di sini, menunjukkan bahwa moralitas perlu dikedepankan, dibandingkan dengan bersembunyi dibalik kedok hukum.