Dalam kosa kata negeri kita, cuti akhir tahun dan tahun baru, akan disandingkan dengan cuti hari besar agama Nasrani (Katolik dan Protestan), yakni hari Natal. Bahkan, karena penyandingannya itulah, istilah yang popular di media massa, adalah cuti atau liburan Nataru (natal dan tahun baru). Istilah nataru ini, banyak tersebar, khususnya di media massa, atau medsos yang kita punya.
Penyandingan itu, kiranya, bukan sekedar sebuah kebetulan. Tampaknya, tidak ada istilah kebetulan, penyandingan antara tahun baru dengan hari natal, atau lebih tepatnya, penyandingan antara hari natal dan tahun baru. Kita tidak akan masuk pada polemik akademik, tentang  kelahiran al-Masih. Tujuan dari wacana ini, lebih bermaksud untuk menemukan kunci pemahaman, mengapa kedua hal ini, sering dirayakan, namun sering teralpakan pula untuk dimaknainya.
Tahun baru merujuk pada kalender akademik. Perayaan tahun baru, banyak dirayakan. Bukan hanya kaumNasrani, tetapi hampir dipastikan, perayaan tahun baru ini, sudah tidak mengenal agama, suku, ras atau warga negara. Setidaknya, melalui media massa kita, biasa diberitakan adanya perayaan tahun baru --hampir bisa dipastikan, seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, dan di dunia.
Memang betul, khusus di Indonesia, istilah tahun baru, tidak hanya merujuk pada kalender akademik. Secara nasional, kita mengenal tahun baru Hijrah (umat Islam), atau Tahun Baru Imlek (untuk masyarakat China), dan juga tahun baru kalender etnis yang lain. Cukup banyak istilah dan sebutan tahun baru di tengah masyarakat. Namun patut diakui, bahwa satu diantara perayaan tahun baru yang dilakukan secara massal dan global, adalah tahun baru masehi.Â
Banyak ragam,  bentuk perayaan yang dilakukan orang dalam mengisi tahun baru. Tetapi, satu diantara sekian bentuk perayaan tahun baru, adalah  kerap kali diartikan sebagai sebuah momen merumuskan resolusi di akhir tahun. Banyak orang mencoba untuk melakukan hal ini. Momen ini, dijadikan sebagai kesempatan-personal untuk melakukan refleksi terhadap apa yang sudah terjadi, apa sudah dicapai, kemudian harapan untuk tahun depannya.
Resolusi. Walau, kadang, bagi beberapa orang, tidak disiplin dengan resolusi yang diucapkannya, sehingga sejumlah targetnya belum bisa dicapai secara maksimal. Tetapi, bagi sejumlah kalangan, resolusi-resolusi di awal tahun itu, memberikan gambaran, arahan dan juga penguatan terhadap dirinya untuk bisa mewujudkannya.
Sementara di lain pihak, sebagaimana banyak dituturkan orang, Natalan diartikan sebagai moment kesadaran mengenai lahirnya sebuah sejarah-cinta dan kasih sayang. Al-Masih, oleh sebagian orang penafsirnya, diartikan sebagai bagian dari penabur cinta dan kasih sayang kepada manusia. Dengan pengorbanan yang dilakukannya, al-Masih membawa manusia untuk bisa membangun peradaban dan keadaban kasih sayang.
Sehubungan hal ini, Â rasa-rasanya, ada irisan penting, antara tiga peristiwa sejarah yang kita hadapi saat ini. Ketiga peristiwa yang kita maksudkan itu, adalah tahun baru, natal, dan pemilu.
Dalam konteks Pemilihan Umum, khususnya Pilpres, rasanya perlu dijadikan sebuah momentum "resolusi" politik untuk lima tahun yang akan datang. Hari pencoblosan, adalah "hari tahun barunya" politik bangsa Indonesia. Di hari pencoblosan itu, rakyat Indonesia akan memasuki 'kalender politik baru' untuk waktu lima tahunan yang akan datang.Â
Sehubungan hal itu, maka, adalah sudah pada waktunya, dan tepat kiranya, bila pemilu dan pilpres ini, dilakukan sebagaimana layaknya perayaan tahun-baru kalender masehi. Rayakan, dengan kebahagiaan, dan penuh kedamaian. Â Prinsip kebahagiaan, dan kedamaian, baik dalam konteks kalender-masehi maupun kalender-politik (lima tahunan), merupakan spirit-nyata dari semangat Natal dalam konteks sosial.