Merdeka belajar, sebuah kata yang memancing banyak diskusi, dan meransang untuk mengeksplorasi dengan seluas-luasnya. IStilah merdeka belajar begitu sangat terbuka untuk dibincangkan, baik oleh praktisi maupun akademisi.
Dalam konteks ini, pengalaman selama pandemi selama hampir 2 tahunan lebih, memberikan inspirasi mengenai pentingnya merancang model pembelajaran yang authentik. Authentik bukan hanya dalam proses penilaian, melainkan juga pembelajaran, materi dasar dan juga layanan, sehingga akan menghantarkan anak-benar benar menjadi manusia authentik.
Apakah selama ini, manusia pembelajar tidak authentik ?
Benar. Pertanyaan ini menarik untuk didiskusikan. Sekedar catatan, manakala kita, terjebak pada rutinisme, maka kita tidak authentik lagi.
Bila kita mengejar untuk memindahkan pengetahuan guru kepada peserta didik, maka si guru sudah tidak authentik lagi.
Bila seorang pesrta didik hanya menerima informasi dari guru saja, maka peserta didik pun sudah tidak authentik lagi.
Jika orangtua merancang dan menentukan pilihan jalur pendidikannya bagi masa depan anaknya, maka sang anak sudah tidak autehntik lagi.
Jika orangtua lebih senang dengan karir masa depannya, dengan cukup memberikan biaya hidup kepada anak-anaknya, maka peran dan fungsi keorangtuaannya sudah tidak authentik lagi.
Jika seorang produser membuat karya, lebih digerakkan oleh pemilik modal, maka karyanya sudah tidak autentik lagi.
Lantas apa yang disebut authentik itu ?