Bagi seorang pendidik, melihat perkembangan  masyarakat kita saat ini, mungkin merasa gelisah, dan belum bisa tidur dengan tenang. Gejala sosial yang ada di lingkungan sekitarnya, masih menyisakan masalah pendidikan yang belum juga tuntas-tuntas.Â
Mungkin benar, bila sebagian orang mengatakan bahwa akan terasa sangat mudah bila melakukan perubahan sosial itu melalui proses pendidikan di lembaga pendidikan formal. Namun, pada kenyataannya hal ini masih sangat sulit untuk dilakukan secara maksimal.
Hal yang menyayat hati kita saat ini, adalah kejadian sosial yang tumbuh subur di masyarakat. Kejadian atau peristiwa ini, memang tidak berkaitan langsung dengan masalah pendidikan. Tetapi, kalau dilihat dari sisi hakikatnya, maka masalah ini erat berkaitan dengan kualitas dan manajemen pendidikan.
Di beberapa wilayah di Indonesia ini, ada sebagian masyarakat yang melakukan protes terhadap perilaku aparat pemerintah yang mengelola masalah kompensasi subsidi BBM. Penyebab munculnya protes tersebut  sangat beragam, ada yang tidak puas dengan tindakan aparat yang memotong uang kompensasi, dan ada pula yang protes karena  belum terdata oleh pihak aparat.
Cara protes tersebut, ada yang dilakukan dengan cara halus, dan wajar, tetapi ada juga yang sampai merusak kantor kelurahan, bahkan melakukan  tindakan kriminal (membunuh RT).
Kita tidak ingin menceritakan aspek hukum atau aspek politik dari peristiwa tersebut. Yang akan kita kemukakan di sini, adalah betapa rapuhnya mental dan ketahanan emosional kita.
Pelaku tindakan anarkhis dan kriminal tersebut, dapat diperhatikan oleh kita bahwa mereka tersebut bukanlah anak kecil atau kalangan remaja. Mereka adalah orang notabene sudah mencapai usia dewasa. Namun ternyata, belum memiliki kematangan (maturity) atau kedewasaan dalam berfikir. Ini adalah sesuatu hal yang sangat mengkhawatirkan kita semua.
Pemantik terjadianya tindakan anarkhis atau kriminal tersebut, tiada lain adalah karena tidak kebagian jatah kompensasi BBM, sebesar Rp. 100.000/bulan (atau Rp. 300.000/tiga bulan).
Tanpa bermaksud merendahkan, nilai uang seperti itu tidak sebandingkan dengan ekspresi ketidakdewasaan kita dalam memperjuangkan hak. Penulis menyadari, bahwa uang sebesar itu, adalah sangat besar, dan sangat berarti bagi sebagian masyarakat kita.
Penulis menilai bahwa nilai uang sebesar itu, adalah sangat berharga. Namun, yang menjadi sorotan kita, ternyata perjuangan untuk meraih materi sebesar itu, kita mengorbankan status kedewasaan kita sendiri.
Keheranan ini, kian menguat lagi, bila ingat kasus-kasus kriminal yang seringkali terjadi di lingkungan masyarakat kita. Karena pacar, seseorang bisa membunuh. Karena cemburu, suami bisa membunuh istri atau sebaliknya. Karena tidak diberi mampu membayar SPP, anak sekolah gantung diri. Karena kehilangan Hp orang bisa bunuh diri, karena malu ditagih orang bisa berubah menjadi pembunuh, dan melayangkan nyawa si penagih.