Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siapa Memancing SARA?

3 April 2018   08:08 Diperbarui: 3 April 2018   08:12 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia sudah "hampir" menyepakati.  Kita sebut hampir menyepakati, karena dalam batasan tertentu, kita banyak setuju dengan hal ini. Walaupun memang ada juga yang mencoba menawarkan aliternatif, dengan cara memberikan penyebaran mengenai arti SARA itu sendiri. Namun demikian, sekali lagi kita dapat katakan bahwa hampir banyak kalangan setuju, untuk tidak menggunakan isu SARA dalam politik. Bahkan, Pemerintah, aparat keamanan, dan juga KPU mensosialisasikan gagasan ini, dengan sangat intens.

Bagi umat Islam sendiri, isu SARA itu tidak selalu menguntungkan. Permainan ISU SARA malah banyak merugikan umat Islam khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya.  Kita lelah dan penat dengan isu-isu SARA yang cenderung destruksi.  Karena itu, sejumlah tokoh atau elit muslim, dengan leluasa untuk mengajak umat Islam untuk tidak memainkan isu SARA dan tidak terpancing dengan  rangsangan SARA.

Sayangnya. Mungkin itulah politik. Tahun politik ini sudah mulai menghangat dan panas. Saat umat ISlam reda, muncullah PUISI Ibu Indonesia, Sukmawati. Mengatasnamakan diri sebagai budayawan, dia memancing nalar sensitif umat Islam. Diantara penggalan puisinya, tertuang pernyataan : 

Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu

...

kemudian ada juga penggalan

Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi

Mengklaim diri sebagai budayawan. Dia menegaskan, "Lho Itu suatu realita, ini tentang Indonesia. Saya nggak ada SARA-nya. Di dalam puisi itu, saya mengarang cerita. Mengarang puisi itu seperti mengarang cerita. Saya budayawati, saya menyelami bagaimana pikiran dari rakyat di beberapa daerah yang memang tidak mengerti syariat Islam, seperti di Indonesia timur, di Bali, dan daerah lain".). Sumber

Pertanyaan kita, apakah budayawan memiliki hak khusus atau imunitas untuk mengungkap perasaannya, yang potensial memancing SARA ?

Saya yakin, elit muslim blok sana, akan mengajak "jangan terpancing", sementara blok sini, akan memperkarakannya secara hukum. Hal yang pokok, saat, negeri ini berharap damai dan adem. Polisi hendaknya bisa bijak untuk mensikapi masalah ini. Jika Kapolri tidak menunjukkan sikap objektif dan realistisnya dalam memahami fenomena ini, jangan salahkan bila gerakan primordial akan muncul lagi, dan muncul kembali.

Damai Indonesia, Santun dalam bertutur. Itulah sikap realitistis yang harus semua orang tunjukkan !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun