Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presiden "Di-Bully", Rakyat Dikibuli

24 Maret 2018   15:43 Diperbarui: 24 Maret 2018   15:57 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah dikibuli, sudah sering digunakan. Dalam pekan ini, kritikan Amin Rais terhadap presiden, sangat keras dan pedas. Pemerintah, dipandang kibuli rakyat, dengan program bagi-bagi sertifikat. Istilah kibuli, banyak digunakan oleh elit politik kita. Bukan hanya kali ini saja.

Untuk sekedar contoh. Rizal Ramli, pun sempat menggunakan kata 'kibuli'."Saya khawatir Pak Jokowi dikibuli lagi oleh para menterinya. Ini yang  akan menggerogoti elektabilitas Pak Jokowi," imbuh mantan Menteri  Koordinator bidang Maritim dan Sumber Daya ini.

Tahun 2014, politisi Bambang Soesatyo, pun menggunakan hal serupa. Politikus Partai Golongan Karya ini menilai Sri Mulyani antitesis Trisakti Bung Karno dan jargon revolusi mental Jokowi. "Kalau Sri  Mulyani benar menjadi menteri, berarti rakyat dikibuli lagi," ujarnya.  "Artinya, Jokowi yang kita anggap representasi wong cilik ternyata podo ae dengan yang sebelumnya.

Lantas, apa yang dimaksud dengan kibuli ?

Dalam kamus gaul, kata "ngibul" mengandung arti sama dengan membohongi. Tukan ngibul artinya tukang bohong. Dengan demikian, dikibuli mengandung makna dibohongi. 

Apakah dengan demikian, ini artinya bahwa pemerintah sudah berbohong ? Ada banyak cara untuk menjelaskan makna dalam konteks yang beragam.

Pertama, ngibul dalam pengertian material. Misalnya, pembagian sepeda diartikan pembeagian sertifikat tanah, pembagian brosur kampanye disebut pembagian sertifikat. Pengakuan itu adalah contoh dari pengibulan secara material, karena materi yang diklain berbeda dengan kenyataannya.

Kedua, pengibulan dalam prosedural. Mengklaim hasil pembangunan hari ini, sebagai jerih payah sendiri. Itu adalah pengibulan prosedural. Karena, praktek peresmian proyek sekarang, bukan berarti kitalah yang membangun, karena pada kenyataannya bisa jadi, pejabat sebelumnya yang merancang, dan melaksanakan, hanya saja peresmian proyek terjadi pada zaman kita ini. Oleh karena itu, sikap klaim-klaim terhadap pembangunan hari ini, adalah bentuk pengibulan terhadap makna sebenarnya.

Ketiga, pengibulan terhadap motiv. Dalam bahasa politik, kita kerap mendengar ada pernyataan bahwa "program itu dilaksanakan  untuk memenuhi aspirasi rakyat", padahal dibalik itu semua, ada  terselip kepentingan politik dan pencitraan. Itu artinya, "demi rakyat" atau "atasnama rakyat" adalah retorika pengibulian dalam program tersebut.

Keempat, pengibullian bisa terjadi dalam konteks statistik. Politisi kita sering mengatakan, "atas nama rakyat", padahal yang dimaksud adalah "konstituennya", sering mengatakan "kita semua..." padahal yang dimaksud adalah "segelintir orang". Itu semua adalah bentuk pengibulan secara statistik. Secara material, mungkin jadi melaksanakan aspirasi "sebagian" rakyat, tetapi bukan seluruhnya.

Terakhir, pengibulian bisa terjadi pula, dalam sisi substansi masalah. Masalah pertanahan, misalnya, bukan pada pembagian sertifikatnya, tetapi penyelesaian konflik tanah, dan penguasaan tanah oleh sekelompok orang. Sementara memberikan sertifikat tanah untuk sebagian orang yang memang sedang diproses sertifikasi, itu hanyalah masalah birokrasi pengurusan sertifikat tanah, dan bukan masalah pertanahan di indonesia.

Dalam konteks itulah, pengibulan terjadi.

Sayangnya, memang hari ini, sebagian orang lagi demam atau hobi ngebully pemerintah, dan rakyat masih jadi korban kibulan politisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun