Kemapanan eksistensi pendidikan nasional merupakan posisi yang amat diharapkan seluruh elemen bangsa. Namun yang jadi persoalan adalah bagaimana cara untuk mampu mencapai posisi tersebut? Untuk menyikapi pertanyaan ini, tentu banyak cara yang bisa dilakukan. Cara paling sederhana hingga cara paling rumit (beresiko) pun bisa dilakukan asalkan semua elemen bangsa, khususnya pemerintahan berkuasa selaku elemen bangsa pemegang hak mutlak dalam menentukan perencanaan, pelaksanaan dan pengontrolan berlangsungnya program pendidikan, diharapkan mampu mengambil sikap tegas mau dibawa kemana pendidikan nasional? Kalau mau dibawa ke posisi eksistensi yang mapan seperti sebuah posisi kemapanan yang telah diraih pemerintahan Malasia saat ini, misalnya, maka pemerintahan berkuasa harus berani menggunakan cara paling beresiko. Sebabamat mustahil sebuah kemapanan bisa dicapai jika tidak melalui cara paling beresiko.
Konsep beresiko dimaksud adalah biaya tinggi. Makin tinggi biaya pendidikan yang dikeluarkan pemerintah dalam bentuk alokasi anggaran pendidikan, maka akan makin antusias seluruh elemen bangsa dalam menyikapi eksistensi pendidikan. Ketika antusias sudah menjadi sebuah kebiasaan, maka pula dengan pelan namun pasti—atau bahkan akan dengan begitu cepat—melebihi cepatnya pertumbuhan “baik” eksistensi pendidikan Malaisia, pendidikan Indonesia akan mulus menduduki posisi mapan.
Kemapanan kondisi pendidikan dapat ditinjau dari 4 sisi penting sebagaibentuk pembuktian yang objektif. Namun pembuktian ini bisa juga disangkal oleh siapa pun yang memiliki konsep berbeda. Mengingat cara pandang setiap orang jelas berlainan, baik karena kenyataan yang dipandangnya ataupun karena subjektipitas bagaimana cara memandang. Adapaun objektifitas kemapanan dapat saya hierarkikan berikut ini.
1.Tingginya tingkat gaji guru
Kekeliruan yang perlu dipertanyakan jika siapa pun berargumentasi bahwa “gaji guru tidak perlu tinggi-tinggi”. Ini penting dilakukan, mengingat simpang-siur pendapat seperti ini sering membuat rasa sedih bagi guru selaku pihak yang secara kasat mata nyaris sebagai kaum yang tidak memiliki pembela. Padahal jika siapa pun mau dengan ikhlas menyadari betul bahwa pekerjaan guru itu sebagai pekerjaan yang perlu dihargai lebih, maka pendapat yang miring-miring, itu tidak akan hadir. Dapat saya tegaskan, orang yang berpendapat miring tentang guru, itu sebagai bentuk ketidakmengertian terhadap profesi guru. Padahal jelas, tanpa guru tak akan ada kelas. Tak ada kelas tak akan ada sekolah. Tak ada sekolah tak akan ada pendidikan. Tak ada pendidikan tak akan ada kementrian pendidikan. Tak ada kementrian pendidikan tak akan ada pekerjaan kependidikan. Tak ada pekerjaan kependidikan berarti tak ada dana yang disalurkan dalam bentuk penggajian atau proyek. Sebab demikian, maka pada akhirnya tidak akan ada eksistensi pendidikan. Maka negeri apa kira-kira namanya kalau gambaran seperti ini terjadi? Walaupun memang, sudah pun eksistensi pendidikan itu ada, kita sudah begitu jauh tersesat di rimba sakwa-sangka berbangsa bernegara. Bagaimana jika tidak ada eksistensi pendidikan?
Untuk tidak terjadi tingkat kesedihan guru, kiranya pemerintah berkuasa amat penting menunjukan taringnya melalui sebuah keputusan “menaikan gaji guru” dalam sekala tingi. Namun perlu dikaidahi, kenaikan bukan dalam konsep, misalnya, gaji guru dinaikan 20 % sedangkan disusul kenaikan BBM 30%. Inilah kaprahnya yang perlu diluruskan. Dalam keputusan macam ini, justru menggambarkan gaji guru itu turun 10 % dari jumlah yang diterima. Ini merupakan kemunduran kebijakan.
Bila kebijakan pemerintah menaikan gaji guru dalam sekala tinggi terjadi,pemerintah tidak akan lagi melihat guru jadi tukang ojeg atausupir angkot malam, guru terjerat rentenir dan warung, guru memesantrenkan SK-nya berlama-lama di bank, guru memarkirkan ilmunya di lembaga-lembaga edukatif lain sebagai bentuk nyambi dengan dalih pengabdian, dan pemandangan-pemandangan lain yang kurang berkenan tentang guru. Bahkan karena kenaikan dimaksud, guru hampir dapat dipastikan akan tenang, bersemangat, khusu, dan inovatif dalam melakukan KBM.
Jika ketenangan, semangat, khusu, dan inovatif sudah muncul pada diri guru, maka hasil pembelajaran yang disandarkan pada visi, misi dan tujuan sekolah serta peraturan-peraturan pemerintah yang ada, tentu akan memuaskan. Kepuasan inilah yang saya maksudkan sebagai wujud dari kemapanan eksistensi pendidikan. Karena kemapanan inilah, pemerintah berkuasa tidak perlu lagi repot-repot melakukan bongkar pasang kurikulum walaupun memang terdapatnya nilai nominal yang cukup menggiurkan dalam perlakuan bongkar pasang dimaksud. Tinggal kita bertanya, maukah pendidikan kita (Indonesia) segera mapan? Asyikah kita selalu menyaksikan bongkar pasang kurikulum sebagai objek dalih ‘memajukan pendidikan’.
2.Praktisnya administrasi pendidikan
Apabila pemerintah berkuasa mampu membuat pola administrasi pendidikan yang praktis sistemis, maka konsekuensinya guru akan cenderung lebih fokus pada KBM. Dan ini adalah kemapanan pendidikan. Tidak pada bagaimana guru repot sana-sini mempersiapkan seperangkat administrasi sebelum mengajar. Pola repot semacam ini, ini sungguh sering membuat guru merasa terikat oleh administrasi (yang lebih tepatnya saya sebut birokrasi). Padahal sekolah sebagai wilayah pendidikan, yang lebih dibutuhkan adalah pola-pola kepraktisan, bukan pola-pola pembirokrasian. Mengingat dalam KBBI, birokrasi diartikan sebagai pelaksanaan administrasi yang lamban. Kenyataan seperti dijelaskan pada KBBI inilah sesungguhnya yang terjadi selama ini dalam tubuh pendidikan nasional. Puncak dari kelambanan dapat disaksikan salah satunya pada putaran perlakuan sertifikasi yang sudah mulai diberlakukan berdasarkan UU No. 14 tahun 2006 tentang guru dan dosen, bab IV pasal 8: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk merwujudkan tujuan pendidikan nasional. Sungguh memprihatinkan, guru digiring ke arah repot tak menentu harus mempersiapkan data ini dan itu yang sudah tak teringat lagi dimana menyimpannya dan seperti apa bentuknya. Padahal kalau toh sertifikasi tujuan akhirnya untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, tentu bukan harus dalam bentuk pengharusan pada guru semata-mata mengumpulkan sertifikat-sertifikat dalam memenuhi angka yang diharapkan dalam menjangkau sekala lulus atau harus diklat.
Sertifikasi dalam pemahaman saya, kalaupun harus ada, prosesnya harus menyangkut dua hal. Pertama, karena konsep kelola pendidikan sudah berformat otonomi, maka proses sertifikasi pun harus diserahkan pada dinas pendidikan kabupaten. Agar sinkron dengan pemahaman desentralisasi. Kedua, perlakuan sertifikasi dapat saja dalam bentuk uji kemampuan mengajar di kelas, di laboratorium, ataupun di perpustakaan sekolah. Perlakuan seperti ini cenderung akan lebih ringan dan cepat dilakukan, karena dinas-dinas kabupaten yang melakukannya. Dana yang dikeluarkan pemerintah pun hampir dapat dipastikan jauh lebih irit dan akan lebih mudah dimanaj. Konsep MONEV(monitoring dan evaluasi) pun akan lebih mudah dilakukan.
Persoalan siapa (bagian mana) di tingkat dinas kabupaten yang harus jadi saebul bet dalam melakukan hajatan sertifikasi, tentu kalau melihat proporsinya karena menyangkut kinerja guru sebagai pegawai pemerintah, maka bagian kepegawaianlah saebul betnya. Namun tidak mungkin bekerja sendiri. Saebul bet ini harus kolaborasi kepanitiaan dengan bagian dikmen dan dikdas serta bagian TU. Mengenai orang-orang (penguji) langsung, pihak dikmen bisa memanggil pakar-pakar setiap mata pelajara dari perguruan tinggi negeri dengan mempertimbangkan anggaran yang ada. Dengan sistem uji seperti ini, hasilnya bisa langsung diketahui guru hari itu juga setelah selesai uji kompetensi (jika dalam bentuk uji kemampuan mengajar), atau paling tidak dalam waktu dua hari setelah pelaksanaan (jika dalam bentuk uji kognitif).
Kalau saja perlakuan uji kemampuan mengajar atau uji kognitif ini dapat dilakukan, dapat diyakini tingkat kreatifitas guru mengimitasi sertifikat, jam mengajar, makalah, dan hal lain yang mungkin dilakukan guru, yakin akan terbuang jauh-jauh. Artinya kebersihan administrasi lebih dapat dirasakan. Jika setelah bersih, maka akan mudah untuk membuat format administrasi yang praktis. Administrasi yang praktis inilah yang amat ditunggu kalangan guru selaku pendidik dan pengajar. Lantas kita bisa bertanya, kapankah kepraktisan administrasi pendidikan nasional kita rasakan?
3.Relefansi kurikulum dengan pelaksanaan pengajaran
Tidak dapat disangkal, salah satu sifat kurikulum adalah fleksibel. Namun alangkah keliru karena terlalu hobi mengartikan fleksibel, lalu segala hal dalam pengajaran selalu berdalih fleksibel. Satu contoh, penyalahartian fleksibel sudah lama terjadi pada pelaksanaan ujian akhir kelas 3 (EBTANAS/UAN/UN) sebagai titik akhir pembelajaran.
Dalam tataran desentralisasi (penyerahan wewenang pada kabupaten kota), pelaksanaan UN jangan lagi disangkutpautkan dengan sifat kurikulum “fleksibel”. Tidak tepat. Bahkan karena kurikulum sudah disepakati memiliki keotonomian, yang pelaksanaannya lewat konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), maka amat tidak salah jika konsep kelulusan kelas 3 diserahkan penuh pada sekolah bersangkutan. Atau paling tidak kalau pemerintah berkuasa masih ketakuatan oleh kebijakan sekolah dalam mengukur kelulusan dan ketidaklulusan siswanya, pelaksanaan tes akhir kelas 3 biar diserahkan pada tingkat pemerintahan kabupaten kota. Adapun pembuatan soal tes diserahkan pada tim yang di-SK-kan oleh bupati/wali kota dengan mengacu pada peraturan pendidikan nasional yang dibuat oleh pemerintah berkuasa atau sebelumnya.
Contoh lain karena kesalahkaprahan mengartikan kefelksibelan kurikulum, soal UN antara kelas standar dengan kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, misalnya, tak ada pembeda. Mungkin karena sudah diawali dari aplikasi kurikulumnya. Sebab antara kelas standar dengan kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, juga sama muatan (isi) kurikulumnya. Ini bukan persoalan remeh. Jika konteks seperti ini terus dibiarkan, maka kemapanan pendidikan nasional akan sulit diraih. Kurikulum hanya akan berjalan ditempat. Pembelajaran hanya akan berjalan di tempat. Akhirnya secara kebiasaan, pemerintah merasa jenuh lalu merancang perubahan pendidikan lewat perubahan kurikulum. Padahal tindakan ini tidak bisa dianggap bagus. Terlebih bila perubahan kurikulum itu terkesan hanya berubah nama dan istilah-istilah yang harus dihapal dan dipahami oleh guru dan para pihak terkait.
Kiranya cukuplah untuk sementara yang pernah hadir di lingkup pendidikan nasional— sejak ORBA mulai berkuasa hingga kini jaman REFORMASI (walaupun reformasi kurang jelas juntrungnya)— itu hanya kurikulum 1968, 1975, 1984, 1994,2004, dan yang tengah hadir dan bertandang adalah kurikulum 2006. Untuk selanjutnya, kira-kira 20 atau 25 tahun ke depan barulah diadakan perubahan kurikulum. Mengapa harus cukup lama perubahan kurikulum dilakukan? Pertama, penghematan anggaran belanja negara dalam bidang pendidikan. Kedua, untuk mengkhusukan guru dalam melaksanakan profesinya. Dengan kekhusuan, tentu pencapaian tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan pembelajaran mata pelajaran, dan tujuan pokok bahasan akan lebih berjalan mulus untuk dicapai. Dan ketiga demi meminimalisir perdebatan tak penting antara elit politik dengan dalih mencari kiat-kiat jitu memajukan dunia pendidikan nasional. Atas keterangan singkat ini semua, dapat kita pertanyakan, kapankan kurikulum nasional relefansi dalam pelaksanaannya dengan pembelajaran? Akankah
4.Sekolah betul-betul dimanaj oleh Kepala Sekolah
Ketika kepala sekolah mampu mewujudkan perubahan pada sekolah dalam sepanjang tugasnya, itu berartisekolah betul-betul dimanaj oleh kepala sekolah. Ini dapat dianggap sebagai ciri eksistensi pendidikan sudah mapan. Sebab ukuran mendasar kemajuan pendidikan nasional adalah berhasil tidaknya setiap sekolah melakukan perubahan. Kira-kira jika dihubungkan dengan dunia pendidikan Jepang, perubahan dimaksud sebagaimana perubahan yang dilakukan bentuk sekolah keijen (keijen=perubahan). Bentuk sekolah ini amat kental dengan perubahan pertahunnya. Baik perubahan mental dan intelektual anak didik, mental dan intelektual guru, mental dan intelektual pekerja administrasi sekolah, mental dan partisifasi orang tua murid, infrastruktur, perlengkapan belajar siswa, dan hal-hal lainnya yang bersifat pendukung stabilnya mutu pendidikan.
Untuk mampu mewujudkan perubahan terhadap sekolah yang dipimpinnya, seorang kepala sekolah harus berani mengambil sikap lebih banyak tinggal di sekolah ketimbang hanya asik mengikuti penataran, work shop, seminar, atau bahkan nyambi di perguruan tinggi atau di lembaga pendidikan lainnya. Biarlah penataran, work shop, dan seminar di delegasikan kepada unsur wakasek, dan biarlah orang lain saja yang berkesempatan nyambidimaksud. Walaupun memang, mengikuti kegiatan-kegiatan dimaksud tidaklah bertentangan dengan konsep pendidikan seumur hidup. Namun dalam pengamatan saya, sekolah-sekolah yang kepala sekolahnya rajin melakukan kegiatan dimaksud, aplikasi dalam bentuk pembaharuan (membangun) sekolahnya tidaklah serta-merta nampak. Dan ini hanyalah pemubajiran dana negara semata.
Agar sekolah memiliki guru yang kompeten, memiliki tenaga administrasi dan caraka yang kompeten, memiliki taman sekolah yang asri, memiliki aneka laboratorium yang terawat, memiliki sarana olahraga yang memadai, memiliki sekretariat-sekretariat kegiatan ekstrakurikuler yang memadai, dan memiliki hal lainnya yang bersifat menunjang demi mempercepat meningkatkan mutu sekolah yang pada ujungnya akan mendongkrak mutu pendidikan nasional, maka kepala sekolahlah yang harus brilian dalam memanajnya. Bisa dipastikan, ketika kepala sekolah over sibuk dengan kegiatan luar yang sebetulnya masih bisa didelegasikan kepada anak buah, maka dapat dipastikanperubahan kemajuan sekolah akan stagnasi. Sekolah hanya akan dibayangi berbagai masalah klasik berupa tuduhan-tuduhan miring dari masyarakat. Tuduhan-tuduhan miring semacam inilah sesungguhnya merupakan kajian yang dapat memingsankan eksistensi pendidikan nasional. Intinya, kepala sekolah adalah manajer edukatif. Manajer yang harus terus-menerus berani memakai konsep tutwuri handayani, ing madyo mangun karso, ing ngarso song tulodo. Jadi, kurang beralasan, jika kepala sekolah, misalnya, selalu merasa cukup memanaj bawahannya melalui telpon seluler atau melalui keputusan-keputusan surat saja. Ini kekeliruan yang terus terjadi di alam pendidikan nasional.
Ilustrasi sederhana kepala sekolah yang kompeten: 1) kepala sekolah terbiasa hadir di sekolah jam 7 kurang 10 sebelum guru datang, 2) Kepala sekolah terbiasa mengontrol kelas jika saja ada guru yang tidak masuk, 3) Kepala Sekolah terbiasa menegur guru yang bermasalah dengan cara dialog kekeluargaan di ruang kepala sekolah, 4) Kepala Sekolah adil dalam memberi jatah penataran, diklat atau lainnya terhadap guru, 5) Kepala Sekolah selalu meminta masukan dari segenap guru atau pihak pelaksana administrasi sekolah dalam hal meningkatkan mutu sekolah, 6) Kepala Sekolah terbiasa melakukan superpisi terhadap guru setiap setahun sekali, dan 7) Kepala Sekolah terbiasa menghadiri setiap even siswa, baik yang diadakan oleh OSIS langsung ataupun oleh setiap cabang ekstrakulikuer (pengembangan diri). Dengan dihadirinya setiap even oleh kepala sekolah, maka semangat siswa dalam berkegiatan makin tinggi dan bertanggung jawab karena merasa dihargai. Seandainya merasa dihargai, ini dapat tumbuh kembang dengan baik, maka pula akan lebih mudah menggiring siswa dalam menuju kemapanan pendidikan nasional. Dapatlah kiranya dipertanyakan, sudah mapankah setiap kepala sekolah di negeri ini dalam memanaj sekolahnya masing-masing?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H