Sebagai seorang disabilitas daksa, mungkin saya sudah dari jauh-jauh hari mematuhi aturan pemerintah untuk #stayathome. Bahkan sejak aturan tersebut belum diberlakukan. Atau bahkan corona sama sekali belum merebak. Kondisi fisik saya yang terbatas membuat saya harus tetap banyak di rumah.Â
Alhasil saya lebih memilih bekerja mengikuti passion saya sebagai blogger, ketimbang bekerja kantoran. Ritual sehari-hari saya kalau ke luar pun tidak pergi ke rumah nenek, ya jalan-jalan ke mal. Bagaimanapun mal merupakan tempat hiburan yang paling aman dan ternyaman untuk saya.Â
Wabah corona merebak di China akhir Desember lalu membuat saya ketakutan. Akankah wabah tersebut sampai ke Indonesia? Awalnya saya masih tetap berpikir positif. Mungkin corona ini tidak terlalu membahayakan dan akan berakhir sesegera mungkin.Â
Saya sama sekali tidak pernah menyangka bahwa beberapa bulan kemudian kondisi berbalik. Indonesia termasuk salah satu negara yang disinggahi corona. Bahkan korbannya telah mencapai ribuan dan terus bertambah dari hari ke hari.
Mau tidak mau saya pun berusaha untuk menerima kenyataan. Bagaimanapun WHO sudah menetapkan corona sebagai pandemi. Saya juga tidak bisa lagi mempercayai ucapan seorang tokoh yang mengatakan kalau corona tidak akan bisa masuk ke Indonesia.Â
Katanya Indonesia memiliki iklim yang panas, sehingga corona bisa mati kepanasan. Nyatanya tidak demikian. Hingga hari ini, corona telah membunuh ratusan orang di seluruh Indonesia.
Melihat situasi corona yang tidak menentu, saya berulang kali diingatkan oleh mama. Terkait dengan kondisi disabilitas saya, mama begitu khawatir. Bahkan beliau pun berusaha untuk melindungi anak-anaknya.Â
Saya tidak diperbolehkan untuk pergi ke manapun. Mama pun membeli sendiri obat di apotek. Padahal biasanya kami menebus obat bulanan di RS menggunakan BPJS.
Terbukti dengan sudah puluhan dokter yang menjadi garda terdepan justru meninggal karena corona. Tenaga kesehatan baik suster maupun dokter satu per satu tumbang didiagnosa positif corona.Â
Akibatnya hingga hari ini terdapat ribuan pasien dimakamkan dengan protokol Covid-19. Meski terdapat titik terang kalau corona diprediksi berakhir di Bulan Juni, tetap saja saya merasa was-was. Apalagi vaksin corona belum ditemukan.Â
Sebagian masih dalam tahap uji coba yang tentu memakan waktu yang lama untuk sampai ke tahap diperjualbelikan. Mungkin bisa satu hingga dua tahun paling cepat.
Saya membayangkan diri sendiri. Pada waktu normal saja, kaum disabilitas seperti saya harus berjuang untuk dapat hidup bermasyarakat dengan baik. Bagaimana nasib kami di tengah pandemi corona?Â
Konon katanya menjadi pasien corona sama sekali tidak enak. Selain harus tinggal terpisah dari keluarga dalam keadaan sakit, suasana ruang isolasi pun membuat tidak nyaman. Apalagi bila terpaksa harus tinggal satu atap dengan pasien lain yang menderita penyakit yang sama.
Adanya gelombang PHK besar-besaran di Indonesia pasca masuknya virus corona, bukan tidak mungkin banyak di antara karyawan yang di-PHK berasal dari kaum disabilitas.Â
Belum lagi ditambah kondisi ekonomi yang tidak menentu, membuat situasi menjadi rawan dengan aksi kriminalitas. Sebelum adanya corona pun, kaum disabilitas banyak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi terbatas.Â
Pertanyaan saya kemudian terjawab beberapa hari ini. Pasien corona anak dengan disabilitas ditolak masuk Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet karena kekurangan akomodasi untuk pendampingan pasien disabilitas. Akibatnya pasien disabilitas positif corona tersebut terpaksa harus isolasi mandiri di rumah oleh keluarga.
Menurut Komnas HAM, disabilitas mental dan intelektual lebih rentan terkena corona karena membutuhkan pendamping. Panti-panti sosial yang menampung disabilitas mental kapasitasnya penuh sehingga sulit untuk jaga jarak.Â
Negara berkewajiban memperhatikan pemenuhan akomodasi dan fasilitas yang layak untuk kaum disabilitas.
Di negara lain, seperti misalnya Singapura sudah membuat beberapa aturan terkait hal tersebut. Di negara itu, ibu hamil dan kaum disabilitas memiliki jam kunjungan tersendiri jika pergi ke supermarket.Â
Sementara itu manula dan kelompok rentan lainnya memiliki waktu berkunjung yang berbeda pula. Hal ini dilakukan sebagai upaya physical distancing untuk mencegah penularan Corona.Â
Di Australia, pemerintah membagikan dana bantuan serupa BLT untuk para disabilitas yang terdampak corona. Bantuan serupa juga diberikan kepada mahasiswa dan pelajar internasional. Semua itu dilakukan semata-mata sebagai dukungan pemerintah untuk penduduknya yang terdampak virus Covid-19.
Berbeda pula dengan di Massachusetts, Amerika. Di sana selama wabah corona pemerintah membuat berbagai kebijakan untuk melindungi disabilitas dari terkena infeksi. Peraturan ini diterapkan di seluruh fasilitas publik yang diakses secara umum.Â
Perusahaan dan pemilik tempat tinggal diwajibkan menyediakan fasilitas tambahan. Termasuk menerbitkan aturan bekerja dari rumah. Hal ini sebagai upaya menjauhkan diskriminasi terhadap kaum disabilitas. Apalagi di tengah musim pandemi seperti ini.
Sepanjang belum adanya kebijakan pemerintah, bagaimanapun #StayatHome tetaplah yang terbaik untuk kaum disabilitas di Indonesia. Virus corona bukanlah virus yang dapat disembuhkan dalam waktu singkat.Â
Terlebih virus ini dapat dibawa orang dengan tanpa gejala. Itu artinya kaum disabilitas dan keluarganya mesti melakukan upaya yang lebih preventif. Sebisa mungkin tinggal di rumah dan menghindari kerumunan. Sebisa mungkin jangan sakit.Â
Source: Pikiran Rakyat, Service Australia, Detik, CNN, Tempo, VOA, ABC, Tirto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H