Sebagian masih dalam tahap uji coba yang tentu memakan waktu yang lama untuk sampai ke tahap diperjualbelikan. Mungkin bisa satu hingga dua tahun paling cepat.
Saya membayangkan diri sendiri. Pada waktu normal saja, kaum disabilitas seperti saya harus berjuang untuk dapat hidup bermasyarakat dengan baik. Bagaimana nasib kami di tengah pandemi corona?Â
Konon katanya menjadi pasien corona sama sekali tidak enak. Selain harus tinggal terpisah dari keluarga dalam keadaan sakit, suasana ruang isolasi pun membuat tidak nyaman. Apalagi bila terpaksa harus tinggal satu atap dengan pasien lain yang menderita penyakit yang sama.
Adanya gelombang PHK besar-besaran di Indonesia pasca masuknya virus corona, bukan tidak mungkin banyak di antara karyawan yang di-PHK berasal dari kaum disabilitas.Â
Belum lagi ditambah kondisi ekonomi yang tidak menentu, membuat situasi menjadi rawan dengan aksi kriminalitas. Sebelum adanya corona pun, kaum disabilitas banyak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi terbatas.Â
Pertanyaan saya kemudian terjawab beberapa hari ini. Pasien corona anak dengan disabilitas ditolak masuk Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet karena kekurangan akomodasi untuk pendampingan pasien disabilitas. Akibatnya pasien disabilitas positif corona tersebut terpaksa harus isolasi mandiri di rumah oleh keluarga.
Menurut Komnas HAM, disabilitas mental dan intelektual lebih rentan terkena corona karena membutuhkan pendamping. Panti-panti sosial yang menampung disabilitas mental kapasitasnya penuh sehingga sulit untuk jaga jarak.Â
Negara berkewajiban memperhatikan pemenuhan akomodasi dan fasilitas yang layak untuk kaum disabilitas.
Di negara lain, seperti misalnya Singapura sudah membuat beberapa aturan terkait hal tersebut. Di negara itu, ibu hamil dan kaum disabilitas memiliki jam kunjungan tersendiri jika pergi ke supermarket.Â
Sementara itu manula dan kelompok rentan lainnya memiliki waktu berkunjung yang berbeda pula. Hal ini dilakukan sebagai upaya physical distancing untuk mencegah penularan Corona.Â