Kebiasaan Neno Bria yang juga salah satu turunan Maromak Oan (Anak Tuhan) selalu bercerita atau selalu menuturkan ceritra-ceritra rakyat yang lahir atau ada pada jaman dahulu dengan berbagai macam versinya. Â
Neno Bria yang menamai dirinya turunan maromak oan percaya akan tuturan para leluhur sebagai bagian perjalanan atau ziarah manusia di dunia. Â
Ceritra itu dituturkan dari nenek moyang yang selalu dipegang teguh sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi meskipun pada jaman kini kebenarannya amat diragukan.Â
Namun percaya atau tidak ungkapan-ungkapan para leluhur yang tidak tercatat ini bagi para orang tua adat selalu mengungkapkan bahwa kejadian jaman itu menjadi ceritra dijaman kini yang patut dibenarkan.Â
Nusa Tenggara Timur berdiam seorang kakek bernama Mau Rin bersama istrinya. Kakek Mau Rin bersama istrinya dikaruniai tiga orang putra. Setelah ketiga putra ini menanjak dewasa, maka si putra sulung (Unu/Ulu) dan si Putra tengah(Nana/Klaran) pergi merantau sambil mencari jodohnya masing-masing.Â
Si Sulung akhirnya memutuskan untuk merantau ke pulau Sabu dan menetap disana. Sedangkan si bungsu sendiri yang bernama Suri Ikun tetap menetap di Timor khususnya di Malaka untuk menjaga orang tua mereka.Â
Dari ketiga putra Kakek Mau Rin inilah timbul ungkapan persaudaraan yang sampai hari ini disebut Sabu Mau, Ti'i  Mau, dan Belu Mau. Ungkapan ini masih selalu disebut-sebut sampai hari ini.Â
Dikisahkan bahwa pada waktu si sulung berangkat ke Sabu, ia membawa sebilah pedang tanpa sarung. Konon karena inilah banyak orang Sabu senang menjadi anggota angkatan bersenjata. Demikian pula pada waktu si putra tengah berangkat ke Rote, ia membawa sebuah lampu, segenggam sorgum yang di sebut jagung rote dan sejumlah daun lontar sebagai kertas dan sebuah alat tulis.Â
Oleh karena itu, keturunan si putra tengah yaitu orang Rote, senang menuntut ilmu dan menulis. Sedangkan si bungsu sendiri bernama Suri Ikun, hanya memperoleh sebilah parang dan sebilah tajak.Â
Tajak dan parang inilah menjadikan orang Timor senang menjadi petani. Musim terus berganti hingga Suri Ikun menanjak dewasa. Maka Suri Ikun mulai berangan-angan untuk mencari teman hidup.Â
Hingga suatu waktu ia pergi ke Abat(Maman) untuk memungut hasil pinang dan hasil-hasil lainnya. Setibanya di maman, ia sangat terkejut dan heran. Dimana daun, bunga-bunga, ranting-ranting kayu dan buah pinang banyak yang beterbangan dan berserakahan di tanah.Â