Bangsa Indonesia kini tengah diterjang oleh kapitalisme dan imperialisme Barat yang diam-diam menyusup ke sendi-sendi ekonomi rakyat.Hal ini perlu disikapi secara kritis. Oleh karenanya, kedua hal itu dibawa dan diboyong dengan alat ekonomi yang dinamakan impor murah.
Saat ini barang murah dari luar Indonesia terus menghantam pasar dalam negeri yang berimbas pada matinya sektor dagang yang dijalankan pengusaha Indonesia. Penulis mengecam hal itu. Impor yang didatangkan dengan harga murah telah disusupi agenda besar, yakni dikuasainya ekonomi Indonesia.
Pada tahun 2015 mendatang, China – ASEAN Free Trade Agreement (C-AFTA) mulai berjalan. Siapkah Indonesia menghadapi tantangan ini? Di satu sisi C-AFTA mendatangkan keuntungan, yakni impor-ekspor bebas dilakukan oleh kedua negara. Namun di sisi lain Indonesia masih belum mampu mengolah barang mentah menjadi sebuah barang siap jual seperti China.
Saat ini Indonesia hanya mampu mengekspor barang mentah. Sementara, China sudah mampu mengolah barang mentah menjadi barang siap jual dan pakai. Kita tahu, bahwa barang yang melalui proses produksi atau pengolahan akan meningkat harganya di pasaran. Sementara, banyak dari industri pengolahan di Indonesia mayoritas dimiliki asing yang hasilnya diboyong ke negaranya lalu dijual kembali ke Negara kita.
Mereka menanamkan dan mencengkramkan tangan imperialismenya ke Indonesia dengan cara mendirikan pabrik-pabrik yang tujuannya untuk mematikan perekonomian rakyat. Dengan itu mereka menguasai perekonomian dan sumber penghasilan rakyat. Rakyat kita dibodohi, dikelabui, dan dibangga-banggakan dengan upah rendah.
Cara mereka untuk menekan dan mematikan harga barang, yakni dengan memurahkan segala barang yang dipasarkan ke Indonesia.Hal ini tak lain untuk menjatuhkan ekonomi Indonesia dan membuat rakyatnya ketergantungan akan barang impor, sehingga tidak ada lagi kesempatan untuk Indonesia mencintai produk buatannya sendiri.
Sikap kita terhadap impor barang dan produk luar negeri harus cermat. Perekonomian Indonesia yang tumbuh dengan tingkat kelas menengah harus benar-benar dimanfaatkan oleh pelaku usaha kecil dan menengah. Peluang itu membuat Indonesia memajukan perekonomian sekaligus mensejahterakan rakyat yang tak perlu lagi bertopang pada penghasilan yang dibangun asing.
Menurut Wakil Menteri Perdagangan Dalam Negeri Bayu Krisnamurthi, 7.300-7.600 pelaku UKM di Indonesia berhasil melakukan ekspor produk ke Negara tetangga. Namun, angka tersebut terhitung sangat minim jika dibandingkan dengan total UMKM di Indonesia yang mencapai 56,5 juta.
Mengutip pernyataan Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementrian Perindustrian Euis Saedah, Peluang UMKM di Indonesia masih kalah saing dengan Thailand dan Vietnam. Mereka memiliki kualitas bagus dan harga murah. Kendala Indonesia dalam mengembangkan pasarnya ke luar negeri terbatas pada harga yang kurang berdaya saing karena distribusi mahal, transportasi, energi dan tenaga kerja.
Majunya sektor usaha kecil dan menengah di Thailand serta Vietnam, karena banyak disubsidi pemerintah dengan modal besar. Sementara, subsidi pemerintah Indonesia hanya sebatas pada peralatan saja dan itu tidak sepenuhnya. Jika UMKM ingin disubsidi dengan modal justru itu akan membuat sulit pengusaha, karena bunganya masih tinggi.
Usaha Menengah dan Kecil Masyarakat (UMKM) harus didukung dan didorong penuh oleh pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya, supaya berkembang menjadi industri besar yang nantinya dapat menggeser industri asing di bumi pertiwi. Hal ini pun guna mematahkan ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap produk asing yang terus membanjiri pasar Indonesia.
Pelaku usaha yang sudah mampu mengeskpor produknya ke luar negeri wajib didorong pemerintah, supaya sektor ekonomi berbasis kerakyatan tetap berkembang dan menghilangkan candu rakyat Indonesia terhadap impor. Upaya menggerakkan konsumen dalam negeri untuk gemar produk Indonesia wajib dilakukan. Hal ini bentuk nyata penguatan loyalitas konsumen terhadap produk buatan sendiri.
Data yang disampaikan majalah Economist (2004) menunjukkan, Indonesia sebagai Negara agraris adalah pengimpor besar produk pertanian. Beras yang saban tahun didatangkan dari Thailand dan Vietnam perlu dibatasi jumlahnya. Tanah di Indonesia begitu luas tersebar di pelosok Nusantara. Bahkan pulau Jawa yang padat penduduk pun masih memiliki lahan kosong yang dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian, misal di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jika semua lini, masyarakat dan pemerintah bekerjasama secara konsisten atas dasar mensejahterakan rakyat Indonesia hasilnya pasti dapat mensuplai dan menstok beras untuk pulau Jawa beberapa tahun ke depan.
Ilmu pengetahuan berbasis teknologi yang berasal dari Barat dan Asia mestilah dimanfaatkan. Kita jangan terus-terusan terbelalak dan memuji keduanya. Saatnya metode SRI (System Rice of Intensification) digencarkan untuk meningkatkan hasil panen petani. Sosialisasi, pendampingan, pemantauan, dan evaluasi harus diterapkan betul demi tersokongnya ketahanan pangan Indonesia.
Tak ada lagi dinas pertanian yang bermalas-malasan untuk memperjuangkan ketahanan pangan ini, karena sudah saatnya rakyat Indonesia berhenti makan beras dari Negara tetangga. Impor beras harus dijadikan pelajaran bagi siapapun anak bangsa di jaman ini. Kita harus mengambil sikap agar tak tergantung pada asing. Jika ketergantungan itu mendarah daging, saya katakan Indonesia kembali terjajah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI