Mohon tunggu...
Maulana Yusuf
Maulana Yusuf Mohon Tunggu... -

Journalism Student at University of Sultan Ageng Tirtayasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buruh Mesti Duduk Bareng

27 Desember 2013   10:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Unjuk rasa buruh di Jabodetabek oleh berbagai organisasi persatuan buruh selama sebulan terakhir menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Aksi itu demi memperjuangkan Upah Minimum Kerja (UMK).

Mereka tak hanya berdemonstrasi tetapi melakukan tindakan anarkitis, contohnya buruh DKI Jakarta yang merobohkan sebagian pagar gedung tempat Gubernur DKI berdinas dan perusakan pembatas besi antara jalur tol dan jalan reguler di ruas tol Bitung. Aksi itu supaya mereka dapat memasuki jalan tol menggunakan sepeda motor. Usaha itu bertujuan untuk memblokade pengguna jalan dengan dalih supaya jeritan buruh terdengar pemerintah. Penyampaian aspirasi yang diiringi perusakan fasilitas umum kerap terjadi karena buruh merasa tak puas tuntutannya tidak dipenuhi.

Penetapan UMK 2014 dinilai tak berpihak kepada buruh, karena besaran nilai UMK yang ditetapkan pemerintah kota/kabupaten dan provinsi hanya Rp 2,442 juta dan Rp 2,444 juta per bulan. Alasan ini berangkat dari pemerintah pusat yang menetapkan aturan agar kesejahteraan pekerja dijamin dengan penetapan upah minimum yang angkanya didekatkan semaksimal mungkin dengan kebutuhan hidup layak (KHL).

Buruh merasa persoalan ini belum tuntas, sebab pemerintah daerah belum memenuhinya dan diharapkan segera menyesuaikan. Di sisi lain, pengusaha menuntut agar buruh meningkatkan produktivitas kerja terutama target peningkatan produktivitas perusahaan. Masalah itu kadang menjadi kebimbangan pengusaha untuk mencapai keuntungan standar.

Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Suahasil Nazara, seperti dikutip di Kompas.com, menilai masalah lainnya adalah perhitungan KHL justru agak terlepas dari beberapa parameter yang seharusnya ada dalam komponen penetapan KHL. Soal inflasi dan kemiskinan justru bukan menjadi faktor penentu KHL.

Terlepas dari itu, pemerintah diminta tegas menangani unjuk rasa buruh. Buruh memang memiliki hak menyalurkan aspirasi. Namun, jika dalam melakukan haknya itu mereka mengganggu hak orang lain, itu berarti telah terjadi pelanggaran aturan sehingga mereka wajib ditertibkan.

Pemerintah pun harus bersikap tepat dalam menghadapi tuntutan buruh agar nasib mereka tidak terus-terusan digantung. Nazara mendesak pemerintah mempertimbangkan beberapa dimensi yang melingkupi persoalan tuntutan kenaikan upah minimum.

Jika demonstrasi ini terus menerus dilakukan buruh dan organisasi persatuannya. Publik dapat menuduh bahwa buruh hanya menginginkan kebutuhan material semata, bukannya kesejahteraan yang selama ini didambakan banyak pihak. Sebabnya, upah minimum yang ditetapkan pemerintah dirasa tak selalu cukup.

Meskipun kapitalisme asing dan pemerasan terhadap tenaga kerja Indonesia dengan upah murah santer terdengar. Namun, publik tetap menyangka kalau buruh anarkis. Informasi di media pasca buruh berunjuk rasa berujung pada keluhan masyarakat soal kemacetan di jalan. Keinginan buruh menyampaikan aspirasi dan mendapat dukungan dari banyak pihak malah dipatahkan oleh pandangan masyarakat yang sinis tentang mereka.

Efek media mengenai pemberitaan unjuk rasa itu tak bisa dipungkiri dan justru akan menimbulkan pandangan negatif dibenak masyarakat.

Buruh dan organisasi persatuan lainnya mesti hafal serta paham terhadap pola seperti ini. Hafal perilaku masyarakat yang tak ingin direpotkan oleh hal ini-itu, karena perilaku yang semakin individual serta paham akan dampak yang terjadi saat unjuk rasa dan pasca unjuk rasa.

Sudah saatnya buruh menyampaikan aspirasi mereka dengan cara elegan. Tak mesti turun ke jalan dengan berbondong-bondong. Lalu memutar lagu dangdut keras-keras supaya menarik perhatian massa dan melakukan tindakan anarkis guna menarik perhatian pemangku kepentingan.

Cara lainnya, buruh dapat melakukan kampanye dan propaganda secara konsisten di media, baik elektronik, cetak, maupun sosial dengan mengadakan dialog interaktif soal kesejahteraan buruh dan turut mengundang tokoh yang pro terhadap mereka. Lalu, menulis sesuai aspirasi dan kebutuhan buruh yang selama ini tak terpenuhi di media cetak. Pemangku kepentingan pasti membaca dengan tenang dan fungsi media sosial untuk mendapat dukungan positif dari masyarakat utamanya kaum muda.

Diplomasi pun menjadi alternatif cara bagi buruh dengan mengirim beberapa perwakilan ke DPR, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, maupun Asosiasi Pengusaha Indonesia. Langkah ini jauh lebih konkrit didengar stakeholder karena berdialog langsung dengannya. Cara ini membuat buruh terhindar dari citra buruk masyarakat dan efektif guna melancarkan serangan pemikiran yang lebih kritis.

Salam Pejuang Bangsa!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun