Walau Hanya Sebatas Pagar Tribun, Tetap Berjuanglah Punggawa
Bulan Oktober 2014, kembali terulang tentang kisah hitam putih persepakbolaan Indonesia. Kabar duka kembali muncul, baik di media cetak ataupun media visual diantara hiruk pikuk para media berlomba menayangkan kabar pernikahan artis. Sebagai orang awam dalam hal sepakbola, melihat itu semua sangat miris, apa sebenarnya yang terjadi dengan sepakbola kita?. Lagi dan lagi kerusuhan terjadi, sedih rasanya mendengar tentang itu semua. Beberapa waktu lalu mendapat kabar tentang tewasnya salah satu supporter PSCS Cilacap di wilayah Sleman oleh oknum yang mengatasnamakan supporter PSS Sleman, disusul kabar terbaru dari tanah Papua kerusuhan di babak 8Besar antara Arema dan Persipura yang bermain di liga yang katanya kasta tertinggi di negara kita Indonesia ini. Dan paling hangat adalah kerusuhan dan tewasnya supporter PERSIS Solo saat menjamu Martapura FC kemarin sore (22/10/14).
Sedih rasanya melihat kejadian itu terjadi, dalam hati saya pribadi kenapa kerusuhan itu harus terjadi, bukankah itu akan merugikan klub yang dibelanya. Sepakbola bukankah seharusnya dijadikan sebagai hiburan rakyat, bukan malah menjadi ajang untuk mengakhiri hayat. Sebagai pendukung klub kebanggaan yang dibelanya harusnya sadar akan apa itu hukum sebab akibat. Apa sebab yang kita timbulkan, pasti akan menghadirkan akibat, entah itu baik atau buruk. Apalagi pendukung sebuah klub kebanggaan tentunya tidak hanya satu, dua atau tiga orang jumlahnya tapi ribuaan hingga jutaan orang. Untuk mengedukasi mereka semua tentang hal kecil ini tentu sangat sulit kecuali hal itu timbul dari diri mereka sendiri untuk sebuah tujuan “fokus” membela klub kebanggaan untuk sebuah kejayaan, bukan untuk yang lain. Andai saja semua pendukung kesebelasan ini dapat “fokus” membela klub kebanggaan masing-masing saat kompetisi pasti kerusuhan tak akan terjadi, toh pada akhirnya semua pendukung yag berbeda-beda klub akan mendukung timnas yang sama di stadion yang sama hingga bersorak sorai bersama untuk kejayaan Timnas Indonesia kita dimata dunia, bukankah itu arti Bhineka Tunggal Ika dalam sepakbola kita?
Sebenarnya kata rival menurut saya belum pas untuk diterapkan untuk kompetisi yang ada di negara kita ini. Kata rival justru banyak yang memaknai dalam arti sempit, bahkan ada yang memakanainya dengan sangat-sangat sempit sekali, malah kadang ada yang dijadikan ajang sok-sokan, menunjukan mereka yang paling dan paling benar, semua salah, sehingga muncul fanatisme sempit yang berujung pada kerusuhan yang itu malah sangat-sangat merugikan. Apalagi ketika pendukung tim tamu datang, pendukung tim musuh bebuyutan lagi, pasti akan sangat panas suasana di stadion, nah dari situ kita dituntut seberapa “fokus” kita mendukung kebanggan kita. Biarlah yang terjadi dilapangan terjadi sebagaimana mestinya, sudah ada pengadil dilapangan walaupun kita sama-sama tahu tidak semua pengadil dilapangan benar-benar adil, selain banyak oknum mafia mungkin akibat plin-plan nya federasi kita, tapi ingatlah Tuhan selalu menyaksikan itu semua dan Maha Adil, walaupun mafia berkeliaran tetap Tuhan yang menentukan. Ingat kembali “fokus” kita adalah membakar semangat para punggawa. Selain itu sudah ada pihak keamanan yang bertugas. Kita tau sendiri bagi yang pernah mengikuti away, bagaimana perjuangan kita hingga akhirnya dapat mendukung secara live ketika away. Biarkanlah supporter tamu mendukung klub mereka masing-masing dengan kreativitasnya di tribun, masalah keamanan toh sudah ada pihak keamanan yang mengamankan pertandingan? Tak perlu ikut campur hal yang semestinya tidak kita campuri, semua sudah ada tugas dan porsinya masing-masing. Kembalilah menyadari tentang bersikap, tanamkan dalam hati masing-masing layaknya kehidupan kita sehari-hari, bertamulah dengan sopan dan sambutlah tamu dengan baik, pasti akan indah rasanya ketika yang kita munculkan adalah rasa persaudaraan bukan permusuhan. Ingat kembali hukum sebab akibat, siapa menanam pasti akan menuai. Membayangkan kita bisa mendukung tim kebanggan dimanapun berada dengan aman dan nyaman, salah satu harapan saya. Hanya mengingatkan kembali, bukankan pemahaman rival dalam sepakbola adalah 90menit? Selebihnya kembali normal.
Fokus, Fokus dan Fokus itu adalah kunci untuk mewujudkan pendukung yang dewasa pada saat ini. Biarkan yang terjadi dilapangan, tugas kita sebagai supporter sebuah kesebelasan hanya menyanyikan nyanyian dukungan dengan lantang, mensupport dan berdoa sepenuh hati dan maknai “Walau Hanya Sebatas Pagar Tribun, Tetap Berjuanglah Punggawa” untuk kemenangan klub yang kita bela, sebatas pagar tribun, selebihnya dilapangan serahkan pada para pahlawan kebanggaan kalian. Percayalah para punggawa klub kebanggaan yang kita bela akan selalu mendengar semangat kita yang terus kita teriakan. Tentang hasil dilapangan kita yang mendukung sepenuh hati juga pasti merasakan senang ketika menang, sedih ketika kalah, disitulah kita dituntut akan seberapa loyal kita mendukung tim kebangaan baik saat kalah dan menang, ingatlah punggawa kalian sudah berjuang, hargailah terima dengan sepenuh hati hasil pencapaian dari tiap-tiap pertandingan .
Dari beberapa kerusuhan sudahlah biarkan petugas yang berwajib yang menyelesaikan, ingat kembali porsi kita dalam mendukung tim. Biarkan mereka yang terlibat diselesaikan secara hukum, negara kita adalah negara hukum. Mereka yang tidak telibat apalagi tidak tahu menahu kejadian sesungguhnya tidak perlu sesumbar bahkan menambahkan bumbu penyedap dalam tiap katanya, itu sangat-sangat tidak perlu teman. Kadang supporter yang notabenya pendukung tim rival malah ikut memperkeruh suasana, pernah berfikir andai itu menimpa kalian? sudahlah semua ini pelajaran buat kita untuk kedepan menjadi lebih baik. Belum tentu kita lebih baik dari mereka, berkaca terlebih dahulu, sadari siapa kita, sebelum menjudge orang itu akan lebih bijak. Sebagai pelajaran positif yang bisa diambil adalah mereka supporter PSS Sleman, Brigata Curva Sud (BCS), saat mereka bisa ikut andil membangun dan berkontribusi untuk klub yang mereka bela dengan unit usaha yang mereka miliki, dengan slogan no ticket no game mereka beberapa waktu yang lalu bisa mengembalikan kesadaran untuk membeli tiket, dengan coreografinya menambah animo masyarakat untuk berbondong ke stadion sehingga menambah pendapatan club. Setelah banyak orang melirik dan mengikuti apa yang dilakukan mereka untuk menghidupi klubnya, banyak pendukung tim-tim lain yang berlomba-lomba dengan cara yang hampir sama untuk ikut andil dalam menghidupi klub kebanggan masing-masing entah lewat no ticket no gamenya, unit usahanya, atau coreonya walaupun dibuat dengan nama yang berbeda, tapi hanya karena sebuah musibah banyak yang mencaci maki dll, musibah itu memang kesalahan tapi kembali ingat ke porsi kita lagi sudah ada pihak yang menanganinya, jadikan semua ini pelajaran teman, untuk semua elemen pendukung sebuah tim lain juga untuk tidak melakukan kesalahan dimasa mendatang, mungkin untuk saat ini seperti halnya peribahasa gajah dipelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat. Manusia tak pernah luput dari sebuah kesalahan, dan sangat jauh dari sempurna, dan hanya mereka yang berjiwa besar dan ksatria yang mau meminta dan memberi maaf. Saya percaya seluruh supporter di Indonesia ini sangat berjiwa besar.Gunakanlah media sosial kalian dengan sangat bijak, tentunya kalian lebih tau tentang hal itu bagaimana memanfaatkan media dengan baik, siapa yang menebar kebaikan akan mendapatkan pahala kebaikan. Damailah dan Bersatulah Supporter Indonesia.
#MCK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H