Â
Dalam upacara penobatan Paus baru, ada ritual dimana Paus diarak berkeliling di atas tandu "sedia gestatoria". Tiga kali arak-arakan itu berhenti dan seorang biarawan dina miskin akan membakar seutas tali jerami yang disangkutkan pada sebuah tongkat seraya berkata, "Pater Sancte, sic transit gloria mundi" (Bapa Suci, kemuliaan duniawi berlalu dengan cepat).
Ujaran tersebut hendak mengingatkan Paus akan temporalitas kekuasaannya. Kekuasaan memang genit menggoda. Tak heran iblis berupaya membujuk Sang Guru dengan memperlihatkan semua gemerlap kerajaan dunia asalkan mau menyembah iblis.
Godaan kekuasaan itulah yang kerap diburu politisi. Sebagaimana dalam upacara simbolis penobatan Paus baru, kekuasaan sejatinya fana. Oleh karena itu undang-undang mengatur pembatasan kekuasaan.
Richard Rorty, mengingatkan bahwa manusia modern cenderung melupakan kodrat dirinya sebagai makhluk yang kontingen dan terbatas. Manusia merupakan kontingensi yang bertumbuh melalui kuriositas dirinya dan lingkungan sosial (lebenswelt) tempat ia hidup dan berkembang.
Berbekal kesadaran tersebut manusia akan menemukan kebebasan dirinya. Solidaritas atas sesama manusia juga akan meningkat. Manusia solider akan sesama sebagai makhluk yang kontingen.
Solidaritas inilah yang lantas menjadi dasar dalam melaksanakan kekuasaan. Kekuasaan justru menjadi sarana untuk solider memperhatikan dan melayani orang lain, terutama mereka yang miskin dan menderita. Dengan demikian yang ada bukan lagi "gloria mundi" (kemuliaan duniawi), melainkan "Gloria Dei" (kemuliaan ilahi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H