Saya awali tulisan ini dengan pertanyaan spekulatif, dimana setiap individu yang hidup dan berfikir setidaknya pernah larut dalam pertanyaannya. Demikian pertanyaannya: Jika Tuhan ada, apa profesinya? Segelintir orang menjawab tukang, tukang, tukang. Mengapa? Karena Tuhan adalah pencipta dan pembangun alam semesta. Namun, ada segelintir orang yang mencela, Tuhan itu bukan tukang sebab alam raya yang merupakan hasil karyanya, bukan hanya sekedar benda-benda material dan kegunaannya, alam raya adalah kesatuan dari berbagai bentuk makna dan keindahannya. Oleh karena itu,mereka berpendapat bahwa Tuhan adalah pelukis. Ia pelukis! Ia seniman!
Namun, Platon yang sok tahu tetap bersikukuh bahwa “seniman hanyalah peniru dari penampakan di dunia ini sehingga dua kali lebih jauh dari dunia kenyataan yang sempurna dan abadi (dunia idea).” Nah, kalau kita bandingkan dengan Tuhan (seniman) jadi jelas to! Bahwa pada hakikatnya seniman itu bukan sekedar meniru kenyataan melainkan pencipta kenyataan dan kemungkinan.
Sebelum lebih jauh, perlu teman-teman perhatikan bahwa tulisan singkat ini tidak membahas tentang pertanyaan: Jika tuhan ada, apa profesinya? Bukan, itu hanya pengantar! Dengan analogi tersebut penulis berharap dapat membawa teman-teman pembaca lebih menghargai seni dan senimannya. Itu penting! Sebab seni adalah kesatuan yang harmonis. Jadi, ada baiknya sebelum membaca tulisan ini, jiwa teman-teman harus ikhlas bersatu dalam seni dan juga tulisan ini. Jika sudah? Mari kita mulai.
Kita tahu bahwasanya seni sama halnya dengan filsafat, agama, dan ilmu adalah lembaga, Satu diantara banyak lembaga yang memaknai pengalaman manusia [bambang sugiharto]. Untuk itu, penting kiranya saya coba paparkan sedikit tentang sejarah seni.
-Sejarah Seni
“Seni ada sejak manusia ada.” Ya, jikalau demikian adanya tentu akan sulit untuk menjelaskan awal mula seni itu senidiri. Untuk itu, saya membatasi pemaparan sejarah seni sejauh seni mulai di-sadar-i sebagai salah satu bentuk ekspresi dan profesi.
Platonlah yang pertama-tama mencetuskan teori mimesis tentang seni (4 SM). Ia berpendapat bahwa seni/seniman hanyalah meniru alam/kenyataan. Terlebih yang ditiru ialah dunia material, tentu murkalah Platon sebab dunia material adalah kenyataan terendah dan ditambah lagi dengan ditirunya kenyataan terendah tersebut oleh seniman. Niscaya enyah sudah kesempatan para seniman untuk menemukan kenyataan yang sesungguhnya (dunia Idea).
Namun, lain halnya dengan Aristoteles, menurutnya meniru itu tidak selalu negatif karena meniru adalah cara pertama manusia belajar. Dengan meniru kita dapat belajar dan menambah pengetahuan yang berujung pada kenikmatan yang paling besar (Dick Hartono, 1984:32). Bapak Hume juga menambahkan bahwa pikiran pada hakikatnya bekerja berdasarkan tiga prinsip yakni: Kemiripan (meniru alam), Kedekatan (berfikir tentang sebuah rumah juga berfikir tentang pintu dan jendela) ,dan Sebab-Akibat (berfikir tentang luka, tak pelak akan berfikir tentang rasa sakit yang diakbitkannya) (Donny Gahral, ). Oleh karena itu, meniru adalah keniscayaan yang sulit untuk dihindari seantero manusia-manusia jagad raya. Namun, perlu diingatkan walaupun meniru tidak selalu negatif, Aristoteles berpendapat bahwa tugas seniman bukan sekedar meniru, melainkan lebih kepada pencipta kemungkinan,menangkap lalu melukiskan keuniversalan dan menjernihkan alam perasaan kita.
Dan perlu teman-teman ketahui bahwa pada awalnya seni masih identik dengan pertukangan. Ya, tukang adalah seniman, dan seniman adalah tukang. Keindahan masih erat dengan kegunaannya. Jadi, yang disebut karya seni ialah indah sekaligus berguna. Baru pada puncak abad ke-18 seni/karya seni dipisahkan dari kerajinan/pertukangan.
Lepas dari itu, setelah era mimesisnya Platon dan Aristoteles berakhir, banyak muncul berbagai aliran dalam seni. Sebut saja ekspresionis yang menentang bahwa seni bukan hanya sekedar meniru kenyataan, melainkan salah satu bentuk eksperesi perasaan. Ya, seni telah bergeser! Dari rasionalitasnya mimesis ke arah perasaan (romantik). Kemudian timbullah berbagai persoalan, salah tiganya adalah persoalan akan unsur mana yang lebih substansial dari seni (perasaan atau mimesis), lalu persoalan tentang tujuan seni antara “seni untuk seni” atau “seni untuk sesuatu”. Kemudian, selain itu masih banyak persoalan-persoalan dan aliran dalam seni yang tak bisa saya jabarkan satu persatu, karena keterbatasan pengetahuan penulis.
Oh, saya belum mengantar teman-teman kepada pertanyaan paling fundamental tentang seni yaitu, “apa itu seni”. Ya, saya sengaja tidak memaparkannya karena menurut saya seni sendiri tidak bisa diberi suatu definisi khusus atau definisi yang tetap. Definisi seni terus berubah dari zaman ke zaman. Seperti kata bapak Nietzsche: “hanya yang tak mempunyai sejarahlah yang mempunyai batasan.” Sedangkan seni sendiri, menurut saya sudah melampaui sejarah karena fungsi seni sendiri adalah pembentuk budaya dan kemungkinan-kemungkinannya. Oleh,karena itu, saya menyimpulkan bahwa seni tak patut untuk didefinisikan.
Demikian sedikit pengantar tentang sejarah seni, dimana dapat kita simpulkan bahwa seni selalu dinamis dan terus merombak batas-batasan dalam dirinya sendiri. Dan untuk selanjutnya, seperti judul yang tertera di muka. Seni tidak hanya sebatas karya seni ataupun proses pembuatannya. Seni jauh lebih kompleks, seni adalah way of life!
Adalah keutamaan,tujuan tertinggi dalam hidup yang jelas-jelas fana sekaligus abadi ini. Namun,adalah salah jika kita menyebut bahwa keutamaan adalah tujuan, sebab kita tak pernah betul-betul mengetahui apakah hidup ini mempunyai tujuan atau hanya sekedar siklus tiada henti yang berujung absurditas. Namun,tak ada gunanya jika kita terus-menerus terpaku pada masalah tersebut karena pada faktanya kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang masih mengagunga-gungkan keutamaan.Oleh karena itu, kita semua harus berusaha untuk mencapai keutamaan, namun bukan untuk memperoleh ke”agung”an, melainkan karena keutamaan itu utama, cukup itu. Apa itu keutamaan? Keutamaan adalah selarasnya kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Nah, apa hubungan antara seni dan keutamaan? Lalu, apakah seni sebagai way of life dapat mencapai keutamaan? Akan kita diskusikan lebih lanjut. Ayo!
vSeni dan Keutamaan
Manusia pada umumnya beranggapan bahwa seni hanyalah keindahan. Oleh karenanya, seni hanya mengandung satu unsur dalam keutamaan yakni, keindahan. Tak pelak, seni telah diragukan sebagai jalan hidup untuk mencapai keutamaan, karena seni hanya melulu perkara keindahan. Ditambah lagi dengan anggapan umum bahwa keindahan hanyalah unsur terendah dalam keutamaan. Tentu semakin rendah pula derajat seni sebagai jalan hidup. Seni hanya sekedar pelengkap! Dan parahnya, seni baru mulai dihayati sebagai jalan hidup ketika kebenaran dan kebaikan telah terwujud.
Ya, seni hanyalah pelengkap katanya. Namun, bagaimana jika yang disebut pelengkap itu justru merupakan puncak keutamaan dan merupakan jalan paling sempurna untuk mencapai keutamaan. Seni sebagai way of life adalah upaya untuk mencapai keutamaan. Namun, yang perlu saya ingatkan ialah bahwa seni bukan melulu soal keindahan. Seni dapat masuk ke segala arah keutamaan. Seni dapat merangsang atau memantik kita untuk menjadi benar dan baik. Tentu, tak ada yang namanya kebaikan ataupun kebenaran universal, karena ia(kebaikan dan kebenaran) terbatasi oleh lingkup dan konteksnya.
Nah, disitu-lah sesungguhnya peran seni dapat masuk. Dengan seni, manusia dapat menghayati realitas yang terpecah-pecah ini sebagai keutuhan. Ia mencoba untuk mencari letak keselarasan diantara berbagai hal yang terpecah-pecah. Namun yang dicarinya bukanlah suatu yang nampak, melainkan keadaan atau emosi dibalik penampakan tersebut. Jika sudah ditemukan, baru-lah kita coba selaraskan berbagai emosi atau keadaan tersebut. Tak sampai disitu, setelah keselarasan telah terumuskan, tugas kita selanjutnya adalah menghayati keselaran tersebut. Jika penghayatan dan keselarasan berjalan selaras, maka akan terwujud harmoni. Sebaliknya jika penghayatan dan keselarasan tak berjalan selaras, maka yang terjadi adalah chaos.
Dari kesimpulan tersebut menjadi jelas sudah peran seni. Ia mencoba membuat kita lebih peka terhadap keadaan dan emosi dari segala hal yang tampak. Ya, keadaan adalah esensi segala sesuatu, karena keadaan merupakan awal dan tujuan segala fenomena. Oleh karena itu, seni dapat menjadi titik berangkat untuk memulai segala perbuatan dan pemikiran yang baik dan benar. Dan lagi, jika kebenaran dan kebaikan telah terwujud, dengan sendirinya ia akan mencapai dan bercinta dengan keindahan. Ya, keindahan adalah tujuan terakhir, dimana tak ada lagi yang namanya baik-buruk, benar-salah, aku dan kamu. Mannunggaling pokok’e.
Saat itu, dikala keindahan merasuk, jiwa akan dapat menyimpulkan bahwa keindahan adalah kehidupan(Hegel). Ya, dengan merasakan pengalaman estetis, manusia seolah-olah hidup kembali. Ia menjadi semakin betah hidup dan memunculkan yang biasa kita sebut dengan “harapan”. Harapan akan kehidupan tentunya. Keadaan ini-lah yang akan membawa manusia pada kebaikan-kebaikan dan kebenaran-kebenaran yang lebih indah lainnya secara terus menerus dan abadi tanpa dilanda kejemuan. Ia tak akan pernah bosan atau jemu karena pada dirinya ia sudah menyatu dengan harapan akan hidup.
Nah, pada keaadaan tersebutlah, lagi-lagi seni merasuk. Ya, tentu saja dengan karya seninya. Seniman mencoba untuk mengabadikan keadaan tersebut, sehingga dengan melihat dan menghayati karya seni, manusia diharapkan mampu untuk merasakan keadaan atau pengalamn estetis yang diabadikan oleh karya-karya seni.
Ya, menjadi jelas sudah, seni bukan hanya sebagai perkara keindahan yang indah begitu saja, melainkan juga berperan serta sebagai pengantar kepada keindahan yang sesungguhnya. Jadi, jika pada paragraph sebelumnya saya berucap bahwa seni bukan melulu soal keindahan, apakah layak untuk dikoreksi? Karena kita telah menemukan peran lain seni yaitu, sebagai pengantar terhadap segala hal yang indah. Lantas apakah layak, jika kita menuduh sesuatu yang mengantarkan kita pada keindahan, sebagai suatu hal yang tak indah? Disitu saya terhenti.
vSeni , Agama , Filsafat , dan Ilmu Pengetahuan
Dalam pembahasan sebelumnya telah kita singgung peran seni sebagai way of life. Untuk itu, ada baiknya juga kita perlu membandingkannya dengan way of life lainnya agar dapat menemukan titik pembeda.
·Seni dan Agama
Kita mulai dari agama. Agama, menurut saya adalah suatu bentuk kepercayaan dan kumpulan tata-cara atau ritual yang bertujuan untuk mendekatkan manusia dengan tuhan, manusia dengan alam, dan manusia dengan manusia. Oleh karena itu agama sebagai way of life lebih menekankan religiusitas. Manusia harus shalat, pergi ke gereja, membaca kitab-kitab suci, dan melakukan ritual-ritual keagamaan. Intinya, manusia harus taat pada norma-norma keagamaan. Seni-pun demikian, ia mempunyai ritual-ritual tersendiri, namun bentuknya tidak mutlak dan cenderung unik. Artinya setiap penghayat seni, memiliki ritualnya masing-masing, tidak seperti agama yang sifatnya menyeragamkan. Selain itu, Dick Hartono juga menambahkan, ia berkata bahwa “seni dan agama sama-sama menghayati dan memakanai lambing-lambang. Tetapi dalam pengalaman seni atau estetik manusia tidak merasa berhadapan dengan seseorang Yang Maha-Daulat, yang berhak menuntut jawaban dari kita.” Ya itulah, agama selalu mempunyai sosok atau sesuatu yang dituju, sedangkan seni sendiri yo lebur dalam alam semesta, layaknya seorang bocah yang sedang bermain, kebebasannya kosong tanpa tujuan, namun dalam seni dan estetika, kekosongan itu diisi dengan ekspresi imajinatif.
·Seni dan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan! Lihat saja dari kata pengetahuan, itu berarti usaha untuk mengetahui segala hal. Dan, otomatis harus ada objek disana. Objek yang menjadi sasaran pengetahuan. Oleh karena itu, terjadi dikotomi antara subjek yang mengetahui dan objek yang (coba) diketahui. Terlebih lagi, pengetahuan saat ini sedang ber”tuhan” dengan positivis. Segala sesuatu yang ada dan pasti adalah yang dapat dicerap-diraba oleh indera. Itu-lah pengetahuan dan metodenya saat ini! Sedangkan di dalam seni, subjek dan objek telah lebur dalam suatu keutuhan harmonis dikala pengalaman estetis merasukinya. Selain itu, seni tidak menuhankan sesuatu yang sudah ada dan juga tidak terpaku oleh antek-antek inderawi. Seni tak hanya sebatas inderawi, seni adalah kekayaan batin. Lebih jauh lagi, Jakob Sumardjo dalam buku filsafat seni-nya merumuskan perbedaan-perbedaan antara seni dan ilmu pengetahuan sebagai berikut :
Seni
Ilmu Pengetahuan
Penghayatan dalam sebuah strurktur pengalaman estetis
Pemahaman rasional-empiris terhadap suatu objek ilmu
Seni menyangkut masalah penciptaan(segala sesuatu yang belum ada sebelumnya menjadi ada)
Ilmu Pengetahuan menyangkut masalah penemuan(apa yang sudah ada)
Mengarahkan pandangannya ke dalam lubuk batin(kualitas pengalaman)
Kuantitatif,terukur dalam parameter tertentu
Rohaniah,spiritual
Material,keduniawian