Virus kapitalisme semakin menyebar ke semua lini kehidupan pada abad ke-21.Salah satunya terjangkit di dalam sistem pendidikan.Dahulu,tanpa disadari pada zaman kolonial Belanda dan Jepang kita dicetak untuk menjadi pegawai murah dan tentara.Kemudian pada masa awal kemerdekaan, melalui kurikulum 1947 sistem pendidikan difokuskan pada pengajaran cara berbicara, membaca-tulis-hitung, serta bertani dan berkebun.Selanjutnya, pada kurikulum 1968, sistem berkonsentrasi pada pendidikan jiwa pancasila dan nasionalisme,dilanjutkan dengan kurikulum 1994 yang biasa disebut “kurikulum problem solving”.Sistem pendidikan sekarang, yakni yang terwujud dalam kurikulum 2013 menurut Menteri Pendidikan, Muhammad Nuh, bertujuan untuk menjadikan manusia beriman,bertaqwa,berilmu,dan berkarakter.
Sejak zaman kolonial hingga saat ini,kita dituntut untuk “berguna” atau pragmatis. Pragmatisme berasal dari kata “pagma” yang berarti praktik atauberbuat sesuatu. Hal ini mengandung arti bahwa makna dari segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan. Memang sudah hal yang alamiah semua manusia dituntut untuk berguna. Namun berguna untuk siapa dan apa, itulah yang perlu digaris bawahi.Berbeda dengan dahulu, kegunaan dilandaskan pada urgensi,sekarang kegunaan lebih mengarah pada eksploitatif. Pada sistem saat ini jawaban yang tepat adalah berguna untuk ‘pasar’ dan kapitalis.
Mengerikan memang, bahwa kenyataannya peseta didik,tenaga pengajar, dan institusi pendidikan terpaksa terbawa arus kapitalisasi. Mari kita buat pengandaian sebagai berikut, peseta didik sama dengan produk,tenaga pengajar sama dengan buruh/proletariat, dan institusi pendidikan equivalen dengan kapitalis.
Produk diandaikan sebagai peserta didik,produk mempunyai peran yang sangat vital dalam perusahaan. Produk yang baik, dapat menghasilkan keuntungan timbal balik bagi perusahaan, yang pada taraf ini sama denganinstitusi pendidikan.Kemudian, figurannya adalah tenaga pengajarsebagai proletariat. Disini ia bertugas sebagai pembuat kerangka pikir peserta didik, lalu melapisi etika peserta didik dan menghias estetika peserta didik.Setelah produknya siap,mereka menguji standarisasi produk atau peserta didik tersebut. Tahap akhirnya adalah pembungkusan, produk dikemas dan siap untuk dipasarkan oleh si kapitalis/institusi pendidikan dalam bentuk ijazah. Namun tidak semua ijazah laku dijual, ijazah filsafat ada sebagai pengecualian yang tetap tidak masuk kriteria.
Ketika produk/peserta didik sudah masuk dalam dunia pasar,hanya produk/peserta didik bagus yang diperebutkan. Jika kemudian produk dari institusi pendidikan tersebut dinilai bagus dan memiliki kredibilitas, maka minat pembeli akan naik. Selain nilai jual produk yang menjadi tinggi, institusi tempat si peserta didik ditempa pun ikut menjadi tinggi dalam bentuk dana seleksi yang tidak terbatas sampai uang gedung,SPP,dll.
Begitu pula dengan proletariat/tenaga pengajar yang “mematangkan” peserta didik, mereka saling bersentuhan,berdinamika,dan selalu berkembang dikarenakan mahasiswa adalah salah satu objektifasi campur tangan “sang proletariat”.Tahap ini merupakan bagian yang sangat menyenangkan bagi si tenaga pengajar,namun saat produk telah layak untuk dipasarkan, disini sang proletariat mulai merasa terasingkan karena hasil pekerjaannya(produk/peserta didik) yang telah lulus dan siap dipasarkan menjadi nilai tukar yang tertukar-tukar entah kemana.
Ada juga persoalan baru yang tahun ini diresmikan dalam kurikulum 2013,yaitu penambahan jam belajar SD-SMA,jadi buruh dituntut kerja lebih lama dari biasanya dan tak ketinggalan PERMENDIKBUD No 49 tahun 2014 adalah waktu kuliah S1 maksimal 5 tahun.Ibaratkan buruh yang harus mencapai target missal 100 sepatu dalam 8 jam,Dosenpun sekarang harus lebih cepat dalam mempersiapkan muridnya karena dikejar waktu.Nilai tukar dan batas waktu yang identik dengan pekerjaan kaum proletaria.Lalu saya memprediksi Keterasingannya pasti akan membuat mereka memulai gerakan revolusi?revolusi yang membebaskan dirinya dari jeratan sistem kapitalis.Apalagi yang kita andaikan sebagai Proletariat disini adalah sarjana S1,S2,S3,dan professor,bukan lulusan SD.Tapi tebakanku ternyata salah!factor tersebut cuma membuat mereka(khususnya peserta didik dan tenaga pengajar) semakin nyaman dan membuatnya menjelma menjadi (ciri) manusia modern yang individual,tak peka terhadap lingkungan sekitar,dan malah menjauhi sisi positif manusia modern yang hakikatnya ‘problem-solver’.
Jadi,Jika semua unsur tenaga pengajar,institusi pendidikan ,dan calon peserta didik terus terbawa arus dan ujungnya membuat mereka semakin menikmati kapitalisasi pendidikan,akhirnya cita-cita semula yang ingin mematahkan jarak terbentang hanya jadi “retorika” belaka.
Kemudian kita pasti bertanya-tanya apa yang harus diubah agar kita tidak terbawa arus kapitalisasi pendidikan ini? Jawabannya Kurikulum yang membebaskan .Pendidikan alternative ini ditawarkan oleh Paulo Freire yang lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada peserta didik supaya ada kesadaran akan realitas itu.Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.Dalam salah satu karya tulisnya Paulo Freira meningatkan bahwa ‘Sistem pendidikan harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia’
Senada dengan Freire sistem pendidikan otonom juga berusaha membebaskan manusia untuk belajar menghargai kehidupan, memaknai kebebasan, mengembangkan kemampuan dan kreativitas untuk bisa mengambil bagian dalam menata masa depan dunia yang lebih sejahtera dan lebih manusiawi.Keberadaan Sistem Otonom adalah bagian dari harapan dan impian masyarakat yang memiliki komitmen untuk menjadikan pendidikan sebagai bagian dari gerakan kebudayaan yang menghargai martabat dan menghormati hak anak/manusia.
Namun,saya juga berharap agar Kemendikbud seharusnya membuat/mengadakan ‘lapangan pertunjukan’ bukan pasar yang mengedepankan aktivitas jual beli,melainkan berbagai macam pertunjukan yang menghibur penikmatnya. Membebaskan pemain(tenaga pengajar dan peserta didik) dalam mengembangkan kreativitas dan menyatukan manusia untuk bergembira dan menghayati kebersamaanagar tidak masuk dalam jurang kapitalisme yang sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H