Ada revolusi regulasi halal yang masif di Indonesia dalam 1 dekade terakhir. Dimulai dari UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Apa yang baru? Sertifikasi halal kini "ditangani" oleh pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal -- BPJPH di bawah Kementerian Agama RI. Selain itu, sertifikasi tidak hanya dilakukan pada pangan saja, tapi juga barang gunaan.
Pada praktiknya, implementasi konsep halal pada suatu industri memerlukan panduan, sehingga praktik halal dapat dilakukan berkesinambungan. Menjawab kebutuhan ini, BPJPH merilis satu dokumen penting, Keputusan Kepala BPJPH Nomor 57 Tahun 2021, tentang kriteria sistem jaminan produk halal (SJPH). Secara ringkas, SJPH ini terdiri dari 5 kriteria, atau juga disebut 5 rukun halal. Lima poin inilah menjadi backbone dari SJPH, yang akan menjadi pegangan pelaku usaha (PU) dalam menerapkan SJPH.
Kriteria pertama adalah komitmen dan tanggung jawab. Pemenuhan kriteria ini bisa ditunjukkan oleh PU melalui pernyataan tertulis pimpinan perusahaan bahwa mereka siap menerapkan dan menjaga terpenuhinya kriteria halal, seiring dengan waktu dan dinamika regulasi yang ada. Bentuk implementasi kriteria nomor wahid ini antara lain memberikan sosialisasi kebijakan halal kepada pihak internal maupun eksternal, menyiapkan personel perusahaan yang paham penerapan SJPH di perusahaan melalui pelatihan atau bentuk lainnya. Jika pembaca di sini yang pernah berkunjung ke pabrik pangan menjumpai x-banner atau poster seputar kebijakan halal terpampang di sudut perusahaan, maka itu adalah contoh implementasi dari rukun pertama SJPH.
Kriteria kedua adalah bahan. Bahan mencakup bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, kemasan, bahan penolong pencucian dan media untuk validasi hasil pencucian. Intinya, status kehalalan bahan yang terlibat dalam proses produksi harus dijamin oleh PU. Bagaimana PU membuktikan status kehalalan bahan tersebut? .Â
Kriteria ketiga adalah proses produk halal (PPH). Status halal produk tidak hanya ditentukan dari bahan, namun juga dari kondisi proses produksi. SJPH memberikan rincian yang sangat ketat mengenai pemenuhan kriteria ini, mulai dari lokasi, tempat dan alat; peralatan dan perangkat PPH; dan prosedur PPH.Â
Kriteria keempat adalah produk. Selain bahan dan proses, produk akhir juga menjadi satu kriteria khusus yang persyaratannya wajib dipenuhi oleh PU untuk bisa disertifikasi halal. Sebagai contoh, nama dan bentuk produk tidak boleh memperlihatkan hal haram atau bertentangan dengan akidah islam. Suatu mi basah yang diproduksi dengan bahan halal, proses produksinya pun telah memenuhi kriteria halal, namun diberi merek "mi pocong" misalnya, maka produk tersebut tidak bisa disertifikasi. Produk tersebut tetap halal dikonsumsi, namun tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan sertifikat halal. Lagi, satu catatan penting adalah bahwa BPJPH menganut sistem traceability atau ketelusuran, bukan end product analysis. Artinya, kendati hasil analisis produk di laboratorium menunjukkan tidak ada komponen haram, namun saat ditelusuri ternyata ada proses yang bersinggungan dengan unsur haram, maka produk tersebut tidak bisa disertifikasi.
Kriteria kelima adalah pemantauan dan evaluasi. SJPH perlu dipastikan terlaksana secara konsisten, bukan sekadar pemenuhan persyaratan sertifikasi. Mekanisme menjaga konsistensi tersebut antara lain audit internal dan kaji ulang manajemen.Â
Inilah 5 rukun halal atau kriteria SJPH yang diusung oleh BPJPH. Tantangan besar halal sudah menanti di depan. Kolaborasi pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha nyata diperlukan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H