Timnas Indonesia Bersama Luis Milla Di Laga Pertama Dan Hari Esok
Di tahun 2017 ini, salah satu peristiwa yang ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia, khususnya pecinta bola, mungkin, penampilan perdana tim sepakbola nasional Indonesia bersama pelatih baru, Luis Milla. Kemarin, 21 Maret 2017, laga perdana itu dilangsungkan di stadion Pakansari Cibinong-Bogor. Indonesia menghadapi Myanmar, dan hasilnya 1-3 untuk Myanmar. Beragam komentar tentunya bermunculan. Ada yang kecewa, ada yang tidak, dan mungkin juga ada yang biasa-biasa saja.
Saya sendiri tidak menyaksikan pertandingan tersebut secara lengkap. Saya hanya menyaksikan babak kedua. Di babak kedua itu, saya melihat jika permainan timnas Indonesia tidak terorganisir dengan baik. Tetapi, mungkin permainan di babak pertama lebih baik karena timnas Indonesia berhasil mencetak gol melalui Achmad Nur Hardianto. Di babak kedua juga saya menyaksikan permainan Ezra Wailan. Sepanjang permainannya di babak kedua, ia menciptakan satu peluang bagus dan mendapatkan satu peluang bagus yang gagal ia selesaikan dengan sempurna. Semoga di pertandingan berikutnya ia bisa mencetak gol.
Walaupun kalah, saya menganggap penampilan timnas tidak begitu mengecewakan. Alasannya adalah, pertama, tim asuhan Luis Milla ini baru terbentuk. Sebagai tim yang baru terbentuk, keakraban, kekompakan, dan kepaduan semangat mungkin belum terbangun secara ideal. Kedua, pengalaman. Tim asuhan Milla merupakan pemain-pemain muda dan baru. Tim tersebut disiapkan untuk SEA-GAMES Agustus mendatang dan Asian Games 2018. Artinya, dua even multicabang tersebut merupakan sasaran yang dituju timnas Indonesia. Dengan demikian, Milla dan timnya memiliki waktu 5 bulan dan 1 tahun lebih untuk menambah pengalaman. Pengalaman ini diperoleh melalui pertandingan di kompetisi Liga 1 yang tidak lama lagi akan bergulir dan pertandingan-pertandingan ujicoba yang dijalani di sepanjang waktu tersebut. Ketiga, strategi, khususnya yang berkaitan dengan pemilihan pemain. Pertandingan kemarin adalah laga pertama. Tidak semua pelatih sepakbola menemukan strategi tepat untuk tim di saat menjalani laga pertama. Terkadang, strategi yang paling tepat ditemukan setelah laga pertama ataupun pada laga-laga berikutnya.
Contohnya adalah Tim nasional Belanda di Euro 1988. Di putaran final Euro 1988, Belanda berada di Grup 2 bersama Uni Soviet (sekarang Rusia), Irlandia, dan Inggris. Ketika menghadapi Uni Soviet di pertandingan pertama, Belanda kalah 0-1. Saat itu Erwin Koeman tidak dimainkan dan Marco van Basten baru dimainkan di babak kedua. Ketika menghadapi Inggris di pertandingan kedua, Erwin Koeman dan Marco van Basten dimainkan dari awal, dan hasilnya adalah 3-1 untuk Belanda. Setelah pertandingan tersebut, Erwin Koeman dan Marco van Basten menjadi bagian utama dari tim nasional Belanda di sisa pertandingan Euro 1988. Dan di sisa pertandingan yang ada, Belanda sampai ke final dan menjadi juara dengan mengalahkan Uni Soviet 2-0. Di final Euro 1988 itulah Marco van Basten mencetak gol, di mana gol tersebut masuk dalam daftar gol terbaik dan masih dikenang sampai sekarang. Dan entah kebetulan atau tidak, peluang bagus Ezra Wailan di babak kedua agak mirip dengan gol Marco van Basten yang dicetak di babak kedua.
Contoh lainnya yaitu Paolo Rossi di Piala Dunia 1982. Di putaran final Piala Dunia 1982, Paolo Rossi terpilih masuk timnas Italia. Ketika terpilih masuk timnas, ia baru menyelesaikan hukuman larangan bermain selama dua tahun karena sebuah kasus. Saat itu, banyak pihak meragukan kemampuan Rossi. Di putaran final yang berlangsung di Spanyol itu, Italia berada di grup 1 bersama, Polandia, Peru, dan Kamerun. Di semua pertandingan grup, Paolo Rossi dimainkan dari awal. Tetapi, penampilan Italia tidak begitu memuaskan. Italia hanya mampu meraih tiga hasil seri. Paolo Rossi sendiri dipandang tidak berhasil memberikan performa terbaik. Namun demikian, ia tetap menjadi pilihan utama Enzo Bearzot, pelatih Italia saat itu. Walaupun meraih tiga hasil seri, Italia berhasil lolos ke fase berikutnya. Di fase ini, Italia masuk grup C, grup “maut” karena ada Argentina dan kampiun sepakbola dunia, Brasil. Di fase tersebut, Italia meraih hasil memuaskan, yaitu mengalahkan Argentina 2-1 dan Brasil 3-2. Hasil itu membuat Italia lolos ke semifinal. Rossi sendiri berhasil mengeluarkan kemampuan terbaiknya ketika Italia menghadapi Brasil. Tiga gol ia cetak untuk Italia. Setelah itu, ia mencetak dua gol ketika Italia mengalahkan Polandia 2-0 di semifinal dan satu gol ketika Italia mengalahkan Jerman Barat (sekarang Jerman) 3-1 di final yang dilangsungkan di stadion Bernabeu Madrid. Hasil akhir, Italia menutup gelaran Piala Dunia FIFA 1982 sebagai pemenang. Gelar ketiga setelah dua gelar sebelumnya di tahun 1934 dan 1938. Hasil lainnya, Paolo Rossi menjadi top scorer dan pemain terbaik. Hingga saat ini, kiprah Paolo Rossi di Piala Dunia FIFA 1982 merupakan salah satu greatest moment terbaik di dunia olahraga, terutama sepakbola.
Kembali ke timnas Indonesia. Menurut saya, timnas Indonesia dan Luis Milla memiliki waktu yang cukup untuk membentuk tim lebih baik lagi, baik itu melalui latihan-latihan, menyusun strategi, maupun melakukan pertandingan ujicoba. Di sela-sela waktu berjalan, Liga 1 akan bergulir. Pemain-pemain pun akan menjalani pertandingan-pertandingan kompetisi sehingga para pemain dapat membentuk kemampuan sendiri ketika menjalani kompetisi liga bersama klub. Secara langsung hal ini akan menambah pengalaman pemain. Luis Milla sendiri dapat memantau jalannya liga untuk melihat bagaimana permainan anak asuhannya maupun mencari pemain baru. Sementara itu, masyarakat Indonesia, pecinta bola di Indonesia, akan mendukung timnas Indonesia dengan caranya masing-masing. Jadi, Semangat berjuang timnas Indonesia! Semangat berjuang Mr. Milla! Semangat berjuang Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H