Katak berdoa, "Ya Allah, lapangkanlah dadaku atas semua kehidupan ini. Sesakilah dadaku dengan cintamu!" Si Katak menyendiri di atas ranting. Ia ingin pergi dari kehidupan Sang Kodok, paling tidak ada jeda waktu untuk merawat rindu, merawat cinta. Katak mengikuti jejak langkah panutannya, Sang Umbu. Ia menatap langit, ingin hatinya lapang seluas cakrawala. Katak tak ingin terjatuh dan mati dari atas pohon itu. Ia hanya ingin merasakan kebebasan seperti burung layang-layang. Katak bertafakur, menikmati kesunyian lebih mendalam.Â
Selamat berjuang, Katak.
Tak, tinggal berapa lama tapamu? Aku belajar padamu, Tak, bersabar, mengendalikan nafsu, dan tak banyak bicara. Akan tetapi, pikiranku selalu riuh, Tak. Kadang jari-jariku lebih kencang berbicara daripada mulutku. Bagaimana kamu bisa menyempurnakan tapamu itu, Tak? Bagaimana kamu menahan rindu dan merawatnya?
Sumenep, 10052020-10102020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H