Badai angin bergulung dahsyat. Ia terus memutar sembari berjalan ke arah rumah penduduk. Dari jauh, penduduk terlihat ketakutan tetapi mereka tidak tahu berlindung ke mana. Mereka pikir tak ada tempat berlari.
Badai itu semakin membesar dan mengerikan tatkala di antara pusarannya semakin banyak sampah-sampah plastik, reranting, dan serpihan benda-benda yang sulit diidentifikasi satu per satu. Badai semakin dekat pemukiman. Ia menjelma monster raksasa yang mengamuk. Gemuruhnya semakin riuh.
"Di mana rumahku, di mana rumahku, di mana pohonku tempat aku tinggal. Haaa...." Suara monster badai itu mengaum, meraum-meraum seperti ribuan manusia yang histeris saat ditinggal keluarga tercinta.
Suara badai yang mencari rumah itu adalah arwah penunggu pohon-pohon besar di hutan. Hutan-hutan sudah rata ditebang. Para arwah tidak punya tempat sembunyi yang aman lagi. Mereka gentayangan. Merasuki apa saja untuk mencari tempatnya yang hilang. Para arwah itu marah pada manusia yang telah membabat habis pohon-pohon besar. Mereka ingin balas dendam. Badai angin adalah kesempatan emasnya.
Badai memorak-porandakan atap rumah, pot-pot bunga dihempaskan begitu saja. Pintu-pintu dan jendela seperti mainan anak kecil, dibuka, ditutup, dibuka, ditutup lagi dengan sangat kasar. Bunyi benturan itu berasal dari puluhan rumah.
Badan monster semakin membesar. Genteng, kaca, plafon rumah, dan alat-alat rumah tangga berputar menyatu di badan monster itu. Badai hitam yang menggulung tanpa ampun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H