Oleh: Moh. Tamimi
Beberapa bulan terakhir saya berpartisipasi dalam beberapa kegiatan FNKSDA Sumenep. Aku tidak begitu tahu apa yang diperjuangkan perkumpulan ini sebelumnya. Aku pikir, ia hanya memfokuskan diri seputar masalah agraria karena yang selalu di sorot adalah masalah tanah-tanah warga pesisir utara Sumenep yang diborong oleh investor dengan harga-harga yang sangat mahal, tidak wajar, lalu dijadikan tambak udang. Masalah ini berlarut-larut.
Masyarakat pro-kontra terkait pembelian tanah yang tidak wajar tersebut. Sebagai pemilik sah tanah mereka, mereka berhak menjualnya kepada siapapun, terlebih karena tanahnya gersang dan harganya mahal. Siapa yang tidak tergiur?
Akan tetapi, ada rencana-rencana terselubung yang tidak mereka ketahui sepenuhnya dan pola-pola penguasaan lahan. Menjual tanah kepada investor seolah seperti menjual tanah kepada sanak keluarga atau tetangga terdekat.
Baru kemudian saat tambak udang dibangun besar-besaran---meskipun banyak yang tidak memiliki izin---mereka secara perlahan menyadari betapa berartinya tanah yang mereka jual dahulu dengan harga "mahal" itu. Â Ada kerusakan lingkungan yang harus dibayar jauh lebih mahal dari harga jual tanah.
Investor bisa tidur di rumah mewahnya di seberang pulau sana, sedangkan masyarakat pesisir yang lahannya mereka eksploitasi habis-habisan harus menanggung beban rusaknya lingkungan yang tidak mereka lakukan sendiri. Eksplotasi ini lebih dari sekadar "habis manis sepah dibuang." Masih ada penderitaan tersisa. Sedangkan waktu tak bisa terulang.
Awalnya aku acuh tak acuh, "Siapa suruh dulu jual tanah walaupun sudah dihimbau untuk jangan dijual ke investor?" "Siapa suruh tergiur dengan kekayaan semu?" "Dilarang malah ngeyel, sekarang rasain!" Namun, ada sisi-sisi lain yang harus aku mengerti. Perjuangan masih panjang, masih ada peluang untuk menang. Masih ada banyak orang-orang yang tak bersalah tetapi mendapat imbasnya. Aku masih berusaha optimis, mungkin ini awal mula perlawanan bisa digeloran, mungkin ini awal membangun kesadaran untuk bergerak melawan orang-orang yang seenaknya sendiri itu. Mungkin ini adalah pijakan awal.
Aku mulai mengerti, mengapa perjuangan teman-teman FNKSDA butuh waktu lama, yang mereka lawan adalah korporasi dengan segenap perangkat dan kekuatannya. Pikiran sinis bahwa FNKSDA tidak pernah menuai hasil atas perjuangannya selama ini mulai pudar.
Perlawanan tidak cukup hanya dengan keberanian, tidak cukup hanya karena badan kekar untuk membanting tubuh musuh, musuh-musuh kita ada di depan dan di balik layar. Butuh strategi untuk mengalahkan mereka, mengusir mereka dari tanah-tanah yang seharusnya dimiliki dan dikelola oleh masyarakat. Tanah kelahiran mereka adalah milik mereka, korporasi kotor hanyalah penjajah yang wajib diusir.
Aku pikir, FNKSDA adalah salah satu wadah untuk bergerak bersama melawan berbagai ketidakadilan ini, membela kaum terpinggirkan yang ditindas habis-habisan.
Aku ingin memperdalam ilmu-ilmu agraria dan hal-hal terkait sebagai modal awal untuk melawan ketidakadilan yang sudah nampak di depan mata ini. Kejahatan yang benar-benar sistematis itu harus dilawan bersama-sama.