embohongan Berita: Tantangan Etika Profesi dan Sanksi Pidana
Pembohongan berita atau *fake news* telah menjadi salah satu masalah serius di era digital. Informasi yang disebarkan tanpa verifikasi kebenaran tidak hanya menyesatkan masyarakat, tetapi juga memicu keresahan hingga konflik sosial. Di tengah derasnya arus informasi, tanggung jawab moral dan etika para profesional di bidang media menjadi semakin penting. Â
Namun, dalam praktiknya, etika profesi sering kali diabaikan demi mengejar sensasi dan keuntungan instan. Dalam situasi seperti ini, regulasi hukum pidana menjadi alat penting untuk menindak pelaku yang menyebarkan informasi palsu secara sengaja. Â
### **Etika Profesi di Dunia Jurnalistik**Â Â
Jurnalisme adalah pilar penting dalam demokrasi. Tugas utama jurnalis adalah menyampaikan informasi yang benar, akurat, dan berimbang kepada masyarakat. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menegaskan bahwa seorang jurnalis harus menjunjung tinggi prinsip kejujuran dan kebenaran dalam setiap pemberitaan. Â
Namun, realitas menunjukkan bahwa prinsip ini sering kali dilanggar. Penyebaran berita palsu oleh media, baik secara langsung maupun tidak langsung, sering kali dilakukan demi meningkatkan jumlah pembaca (*clickbait*), menarik perhatian, atau memanipulasi opini publik. Â
Kasus-kasus seperti pemberitaan yang dilebih-lebihkan, penggunaan judul provokatif tanpa didukung isi berita yang relevan, hingga penyebaran informasi yang tidak terverifikasi menjadi tantangan besar bagi etika jurnalistik. Ketika media atau jurnalis mengabaikan tanggung jawab moralnya, dampaknya tidak hanya pada masyarakat, tetapi juga pada reputasi profesi itu sendiri. Â
### **Pembohongan Berita dalam Perspektif Hukum Pidana**Â Â
Penyebaran berita palsu di Indonesia tidak hanya melanggar etika jurnalistik, tetapi juga dapat dikenai sanksi pidana. Pasal 28 ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyatakan bahwa siapa pun yang dengan sengaja menyebarkan informasi palsu yang dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA dapat dipidana dengan hukuman penjara hingga enam tahun atau denda maksimal Rp1 miliar. Â
Selain itu, Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juga mengatur bahwa penyebaran kabar bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat dapat dihukum pidana. Ketentuan ini memberikan landasan hukum yang kuat untuk menindak pelaku penyebaran berita palsu, baik individu maupun institusi media. Â
Namun, penegakan hukum terhadap kasus berita palsu sering kali menghadapi tantangan. Salah satunya adalah pembuktian niat pelaku dalam menyebarkan informasi palsu. Dalam beberapa kasus, berita palsu disebarkan tanpa sengaja oleh pihak yang tidak mengetahui kebenarannya. Hal ini membedakan antara penyebar yang beritikad buruk dan mereka yang hanya korban dari rantai informasi palsu. Â