Gerimis mulai rintik dan lama-lama hujan pun rontok. Kakiku sudah snut-snut berdiri sekitar lima belas menit untuk menunggu Metromini 77 yang melayani jalur Blok M–Ragunan. Aku segera mengeluarkan jaket hijau dari tas punggung, lalu mengenakannya. Belum sempurna letak jaket di badanku, bus merah-biru itu meluncur cepat dari arah selatan.
"BLO' EM ... BLO’ EM ... ayo buruan, Mas!"
Sejurus kemudian, metromini pun memelesat. Biasanya, si bus kecil “kesurupan” kalau sedang “main” kejar-kejaran dengan temannya. Tangan sopir tak henti-hentinya menggoyang kemudi. Entah seberapa dalam dia menekan pedal gas.
“Dia ngejar enggak?” sesekali sopir berteriak.
“Ngejar! Tancap terus!” jawab kenek dengan logat Batak. Sejauh kutahu, awak metromini 77 ini kebanyakan berlogat Batak, Cirebon (Pantura Jabar), dan kadang Sunda.
Di Kemang Utara sebelum Mc Café, akhirnya metromini yang di belakang berhasil menyalip. Kedua sopir sempat beradu gas “grung-grung”. Aku membayangkan dua bison hendak beradu dan mengembuskan udara dari hidungnya, seperti di film kartun keluaran Disney.
“Susul lagi,” teriak kenek. Sopir pun tancap gas. Baru di Kemang Raya sebelum masuk Bangka Raya, dia berhasil menyusul “temannya” itu. Di depan jajaran rumah makan dan kafe, dua metromini saling meraung garang. Samping-menyamping, nyaris saling serempet. Kaca jendela pun ikut bergetar seolah-olah merasakan ketegangan antara dua pengemudi. Sopir sama-sama melotot, seperti hendak bertukar bola mata.
“Gila! Jalan sesempit ini masih bisa susul-susulan,” rutukku dalam hati.
Metrominiku akhirnya memimpin di depan, melaju kencang di Bangka Raya yang juga sempit. Bang sopir sepertinya ingin mengalahkan waktu.
“Dia ngejar enggak?”
“Enggak. Nyantai aja. BLO’ EM … BLO’ EM.”