Bisa dibilang, September adalah bulan literasi dan perdamaian. Setelah Hari Literasi Internasional tanggal 8, kita memperingati Hari Perdamaian Internasional tanggal 21. Tema peringatan keduanya pun saling berkaitan tahun ini. Buku bisa jadi senjata untuk menanamkan kebencian. Namun, buku juga bisa jadi alat perdamaian.
Saat dunia semakin genting, fungsi buku sebagai alat perdamaian kian penting. Di tengah maraknya berita tentang konflik bersenjata di beberapa kawasan dunia, kita membutuhkan bacaan yang menumbuhkan rasa persaudaraan di antara umat manusia. Â Â Â Â Â Â Â
Indonesia memiliki pengalaman dan contoh sangat bagus. Sebagai upaya menjaga kerukunan di tengah masyarakat setelah konflik Maluku tahun 1999-2002, Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM) dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina memprakarsai penulisan buku Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku (2014).
Buku itu ditulis oleh 26 orang dari berbagai latar belakang agama dan profesi, seperti dosen, wartawan, ulama, dan pendeta. Sebagian besar mereka menyaksikan sendiri kerusuhan itu secara langsung. Mereka menceritakan bagaimana peristiwa kelam itu terjadi. Tidak hanya itu, mereka juga mengisahkan upaya-upaya yang dilakukan untuk menciptakan kembali kedamaian setelahnya.
Buku itu kemudian menginspirasi mendiang Glenn Fredly membuat album musik religi Hidayah Carita Orang Basudara pada tahun 2017. Dia ingin menyebarkan pesan damai lebih luas lagi.
"Hari ini enggak cuma Indonesia, tapi dunia juga perlu narasi perdamaian baru," kata Glenn Fredly, dikutip Kompas.com (13/4/2017).
Pernyataan Glenn itu terasa semakin relevan tahun 2024, yakni ketika konflik bersenjata melanda beberapa kawasan di dunia. Keadaan ini diperburuk dengan perang narasi penuh kebencian lewat media sosial, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, umat manusia sangat membutuhkan buku-buku yang mengusung narasi perdamaian sekarang.
Buku terbukti ampuh sebagai media untuk membangun dan merawat kerukunan, terutama di wilayah konflik. Dengan membaca buku, kita akan memahami suatu persoalan secara lebih menyeluruh. Pemahaman utuh itu tidak akan kita dapatkan jika hanya membaca sepotong informasi di media sosial.
Tulisan-tulisan pendek di media sosial cenderung mempertajam permusuhan. Oleh karena itu, kita membutuhkan bacaan yang jadi penyeimbang. Lebih baik lagi jika berupa buku yang menyuarakan persaudaraan di antara umat manusia.
Saling pengertian sangat penting bagi terciptanya perdamaian. Bagaimana cara menumbuhsuburkan sikap yang satu ini? Salah satunya lewat membaca buku bertema welas asih dan tenggang rasa.