"Gangguan" terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air atau PLTA Batangtoru di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, kian memicu "amarah" para tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat.
Mengusung tema, Tegakkan Kedaulatan Energi Nasional dan Listrik untuk Peradaban, pada Kamis pagi, 15 Agustus 2019, enam tokoh masyarakat dan adat dari kabupaten tersebut menggelar aksi simpatik di depan kantor Kedutaan Besar Inggris dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Para tokoh ini menolak intervensi asing terhadap proyek PLTA Batangtoru yang merupakan bagian dari proyek strategis nasional (PSN) tersebut.
Intervensi asing yang mereka maksud adalah dugaan provokasi oleh NGO luar negeri yakni PanEco dan Sumatran Orangutan Conservation Programme atau SOCP. Sejumlah orang asing yang merupakan warga Inggris dan Belanda yang bekerja di NGO tersebut diduga menghasut masyarakat Sipirok, Marancar, dan Batangtoru (Simarboru) untuk menggagalkan pembangunan PLTA.
Lembaga asing tersebut mengatakan proyek PLTA mengancam kelestarian habitat Orangutan Sumatra (Pongo abelii), mamalia yang dilindungi Undang-Undang 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Di Sumatera, Orangutan tersebar di hutan produksi, hutan lindung, area penggunaan lain, dan hutan produksi terbatas. Selain Aceh, salah satu populasi Orangutan terdapat di kawasan hutan Batang Toru, yang meluputi kawasan hutan Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara. Jumlah Orangutan di Indonesia dilaporkan kian menyusut dari tahun ke tahun.
Selama ini PanEco mengklaim sebagai lembaga yang fokus pada kegiatan penyelamatan Orangutan Sumatera bekerjasama dengan mitra dari LSM lokal. PanEco yang bermarkas di Swiss melakukan aktifitasnya melalui SOCP. Selain PanEco ada aliansi lain yang bekerja sama dengan mereka, yang telah mendesak Presiden Jokowi agar menghentikan proyek energi baru terbarukan (EBT) tersebut dengan dalil atau alasan versi mereka.
Di sisi lain, banyak yang memandang desakan itu sebuah intervensi terhadap kedaulatan Pemerintah RI dalam menjalankan program-program strategis guna memenuhi kebutuhan energi listrik untuk rakyat di Sumatera Utara. Sementara, para tokoh yang menyambangi Kantor Kedubes Belanda dan Inggris mendukung penuh kebijakan Joko Widodo membangun proyek energi terbarukan di Batangtoru, yang dipercaya sebagai proyek ramah lingkungan dan mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap asing, dengan penghematan impor disel atau bahan baku energi fosil lainnya.
"Tapi pembangunan ini mendapat provokasi orang-orang asing yang tergabung di LSM, yang berupaya menggagalkan proyek," ujar koordinator aksi Abdul Gani Batubara, yang datang bersama beberapa tokoh dari Kecamatan Sipirok, Marancar, dan Batangtoru (Simarboru).
Aksi simpatik awalnya berlangsung di depan Kedubes Inggris Raya di kawasan Jalan Patra Kuningan Raya. Tawari Siregar yang bergelar adat Mangaraja Tenggar membaca tuntutan dan penyataan sikap. Dia menyatakan pihaknya menolak segala bentuk kampanye hitam dan provokasi yang dilakukan warga asing dengan NGO dari Swiss melalui lembaga lokal sebagai operator lapangan.Â
"Kami meminta kepada Kedubes Inggris agar memproses dan memperingatkan warganya agar tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Kami juga meminta kepada Pemerintah RI mendeportasi WNA Inggris tersebut," ujar Tawari Siregar.Warga Inggris yang dimaksud adalah Ian Singleton, direktur konservasi di PanEco Foundation. Ian masuk ke Indonesia dengan status keimigrasian pemegang KITAS (izin tinggal sementara terbatas) dengan sponsor (penjamin) istrinya sendiri yang warga negara Indonesia (WNI). Orang asing lainnya adalah Garbriella Fredicson dari SOCP yang merupakan warga Belanda.
Raja Luat Sipirok gelar Sutan Parlindungan Suangkupon, Edward Siregar menilai, Ian dan Fredicson harus ditegur kedutaan. "Perbuatan mereka sudah mengganggu warga kami di Simarboru," ujar Edward. Dia menegaskan, masyarakat akan mengusir orang-orang dan LSM asing tersebut bila terus memprovokasi warga dan mengganggu ketenteraman masyarakat. "Kami saja kalau melakukan keributan di kampung kami, kami mendapat sanksi adat. Apalagi mereka itu orang-orang asing, harus ditindak tegas."