Dalam semangat berkonferensi saat itu, peserta diharapkan punya cara pandang sama bahwa semua kandidat adalah teman kami; saudara kami di 'rumah besar' PWI. Cukuplah sudah dunia pers kita 'dinistai' oleh oknum-oknum yang ingin menghidupkan medianya dengan cara memeras nara sumbernya. Sehingga tak salah jika fenomena usang ini, kemudian, diinskripsikan oleh para pakar bahasa sebagai 'wartawan amplop' seperti termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Balai Pustaka 2002; halaman 1269.
Lalu, pertanyaan jahil pun muncul: mengapa di KBBI cuma ada satu istilah amplop khusus untuk wartawan? Bukankah lembaga-lembaga lain seperti polisi, jaksa, hakim, tentara, pengacara, atau anggota parlemen tak luput dari 'kepungan' amplop? Seorang teman bertamsil, “Bro, suap yang diterima oknum polisi, jaksa, hakim, parlemen, atau oknum tentara, barangkali berskala besar, gak pakai amplop tapi pakai kardus. Kan, gak, mungkin ditulis di dalam KBBI istilah jaksa kardus, polisi kardus, parlemen kardus, atau tentara kardus. Benar, kan?”
Ciamik! Inilah rupanya kebenaran yang sulit kami terima kebenarannya. Terlalu pahit barangkali. Dan saya pun, waktu itu, hanya bisa menggeleng kepala sambil bilang: Selamat berkonferensi, teman! Kehebatanmu akan dibuktikan kala bertarung tanpa jamuan 'amplop' di sekelilingnya, apalagi 'kardus' yang tak mungkin sanggup kau suguhkan untuk teman-temanmu yang congok: terobsesi menguras lumbung demi sejengkal perut!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H