Mohon tunggu...
Moh. Mudhoffar Abdul Hadi
Moh. Mudhoffar Abdul Hadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Arsitek Dunia Literasi

Pengen nulis apa aja yang ada di otak

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Partai Coklat di Persimpangan: Antara Penegak Hukum dan Budak Viralisme

25 Desember 2024   14:15 Diperbarui: 26 Desember 2024   00:00 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum membaca tulisan ini, santai dulu. Buat secangkir kopi, cari posisi duduk paling nyaman, dan siap-siap untuk menelusuri realita yang mungkin bikin kamu geregetan. Tulisan ini bukan sekadar opini, tapi ajakan buat kita semua untuk berpikir lebih dalam.

Ketika berbicara soal keadilan di Indonesia, pertanyaan besar muncul: apakah hukum benar-benar menjadi instrumen untuk menegakkan keadilan, atau justru hanyalah alat yang tunduk pada sensasi viral di media sosial? Dalam masyarakat yang semakin terobsesi dengan likes, shares, dan trending topic, penegakan hukum di negeri ini seolah mengalami distorsi. Apakah hukum kita benar-benar hidup, atau hanya menjadi boneka dari linimasa digital?

Fenomena “no viral, no justice” semakin memperkuat anggapan bahwa sistem hukum kita tidak bergerak kecuali ada tekanan publik. Kasus demi kasus menunjukkan bagaimana perhatian aparat penegak hukum baru muncul setelah sebuah isu meledak di media sosial. Hingga saat ini kita masih mendapati beberapa kasus yang berseliweran di berbagai platform media sosial, apa yang terjadi? Kasus yang berseliweran itu baru diusut serius setelah rekaman videonya viral. Sebelum itu? Sunyi senyap, seolah-olah tidak ada yang peduli. Di sinilah pertanyaan mendasar muncul: siapa yang sebenarnya memegang kendali atas penegakan hukum di negeri ini? Aparat atau warganet?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita mundur sedikit. Secara filosofis, hukum seharusnya menjadi perwujudan dari keadilan. Plato pernah berkata bahwa hukum adalah jiwa yang menjaga keharmonisan masyarakat. Tapi apa jadinya jika hukum itu sendiri hanya bergerak ketika ditekan oleh kekuatan eksternal, yaitu viralitas? Bukankah ini menunjukkan bahwa hukum telah kehilangan jiwanya? Penegak hukum, yang seharusnya menjadi pilar keadilan, kini terlihat lebih seperti aktor yang menunggu aba-aba dari panggung media sosial.

Ketergantungan pada media sosial ini menciptakan paradoks yang mengerikan. Di satu sisi, media sosial memungkinkan masyarakat untuk bersuara dan menuntut keadilan. Tapi di sisi lain, ini juga berarti bahwa keadilan hanya tersedia bagi mereka yang memiliki akses dan kemampuan untuk membuat kasus mereka viral. Apa kabar dengan mereka yang suaranya tak terdengar? Apa kabar dengan mereka yang tidak memiliki kuota internet atau tidak tahu cara bermain algoritma? Apakah mereka harus menerima nasib sebagai korban ketidakadilan hanya karena kasus mereka tidak menarik perhatian publik?

Mari kita lihat data untuk memperkuat argumen ini. Laporan SAFEnet tahun 2023 mencatat bahwa lebih dari 70% advokasi kasus di Indonesia menggunakan media sosial sebagai medium utama untuk mencari keadilan. Artinya, tanpa viralitas, peluang sebuah kasus untuk mendapatkan perhatian publik maupun penegak hukum sangat kecil. Ini adalah potret suram dari sistem hukum yang seharusnya bertindak independen tetapi kini tergantung pada tekanan eksternal.

Pribadi saya sering bertanya-tanya: apakah kita benar-benar hidup di negara hukum, atau hanya negara sensasi? Penegak hukum seolah berlomba-lomba menunjukkan aksi hanya setelah publik ramai-ramai “membakar” mereka di media sosial. Ironis, bukan? Ketika sebuah kasus mulai viral, tiba-tiba semuanya bergerak cepat: investigasi dilakukan, pelaku ditangkap, bahkan konferensi pers digelar. Namun, kasus yang tidak viral? Mereka hanya menjadi tumpukan berkas yang berdebu di sudut kantor polisi.

Jika ditelaah lebih dalam, ada beberapa alasan mengapa penegakan hukum di Indonesia cenderung “viral-driven.” Pertama, budaya malu yang mendalam. Para pejabat hukum sering merasa perlu merespons tekanan publik karena takut dicap sebagai tidak kompeten atau abai. Kedua, kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem hukum kita. Ketika masyarakat tidak percaya pada sistem hukum, mereka mencari jalan alternatif, yaitu dengan menciptakan tekanan melalui media sosial. Ketiga, lemahnya integritas penegak hukum. Banyak kasus yang baru diusut serius setelah menjadi viral menunjukkan bahwa sering kali bukan hukum yang menentukan prioritas penanganan kasus, melainkan opini publik.

Namun, apakah ini berarti media sosial selalu buruk? Tidak juga. Dalam beberapa kasus, viralitas telah menjadi alat untuk menyeimbangkan kekuasaan. Ketika sistem hukum gagal, media sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk menuntut keadilan. Ini adalah bentuk demokratisasi dalam konteks digital. Tetapi masalahnya adalah: seharusnya ini tidak perlu terjadi. Penegakan hukum yang ideal tidak memerlukan paksaan dari luar. Ketika hukum menjadi alat negara yang independen, ia harus berjalan secara otomatis tanpa menunggu tekanan publik.

Jika kita membiarkan fenomena ini terus berlanjut, maka masa depan hukum di Indonesia akan semakin suram. Kita akan hidup di dunia di mana keadilan hanya tersedia bagi mereka yang memiliki pengaruh digital. Ini adalah bentuk baru dari ketidakadilan struktural. Mereka yang tidak memiliki suara di media sosial akan terpinggirkan, sementara mereka yang mampu menciptakan sensasi akan mendapatkan perhatian penuh. Apa bedanya ini dengan hukum rimba?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun