Sudah dua jam aku tidur dengan begitu pulas, hingga kulewatkan momen di mana pelangi muncul di saat hujan turun sore itu.
Hari itu kesedihanku bertambah, karena tak bisa kulihat lembayung jingga di langit Jakarta karena langit yang sedang menangis, mencurahkan seluruh air matanya.
Dari kamar hotel tempatku menginap, kulihat dari atas orang-orang hilir mudik dengan kendaraannya. Sedang yang lain, ada yang berjalan kaki, ada juga yang sedang sibuk mempersiapkan dagangannya untuk berjualan. Menjajakan aneka makanan yang siap dibeli oleh pegawai kantoran yang baru pulang sore itu.
Malam hari telah tiba, kurasakan suasana ibu kota yang jauh lebih ramai dan modern daripada tempatku berasal. Kulihat urat nadi perekonomian negara ini sedang bergulat dengan penuh semangat selama 24 jam tiada henti.
Kulihat juga dengan mata kepalaku, seorang pria tua berpakaian compang-camping yang tidur di pinggir jalan depan hotel mewah di pusat kota. Aku menyadari, tak semua sisi ibu kota itu pasti indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H