Pemandangan umum yang terjadi jika kita mengunjungi toko buku adalah adanya pajangan khusus untuk beberapa buku yang menjadi best seller saat itu. Sepanjang pengamatan saya, novel adalah jenis buku yang sering berada pada pajangan tersebut.Â
Predikat best sellerdan pajangan khusus ini tentunya sangat bergantung pada selera pembaca, inilah yang menjadi faktor utama. Kesan-kesan yang dimunculkan oleh novel lebih mampu menangkap aspek psikologis pembaca, satu hal yang langka didapatkan dari buku-buku ilmiah populer.
Dalam beberapa minggu terakhir ini, dunia perfilman Indonesia kembali memberikan kejutan melalui booming-nya film Dilan 1990 yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama. Kentalnya romantisme dipadu dengan kata-kata aneh dan lucu dari si Dilan telah benar-benar menyebabkan deman Dilan dimana-mana.
Novel yang ditulis Pidi Baiq pada tahun 2014 ini hanyalah salah satu dari sekian banyak novel yang telah diadaptasi menjadi film. Hal ini tentu saja menggembirakan, sekilas kita bisa berasumsi bahwa dunia literasi dan perfilman kita masih berkembang dengan baik, dan bukan tidak mungkin semakin memiliki prospek yang cerah di masa depan.
Namun dibalik gemerlapnya Dilan 1990, berlaku pula hukum "ada yang timbul, tentu ada pula yang tenggelam". Di tengah perkembangan novel yang semakin marak. Terjadi kondisi yang stagnan pada dunia buku ilmiah populer kita. Walaupun belum ada data perbandingan mengenai tingkat keterbacaan novel dan buku ilmiah populer, tetapi minimnya jenis buku ilmiah populer di etalase-etalase toko buku telah memberikan gambaran yang jelas.
Sebagai sama-sama bahan bacaan, tentu kesan persaingan tidak bisa lepas dari keduanya. Tanpa melakukan survei, saya sangat yakin bahwa kita akan lebih betah membaca Dilan 1990-nya Pidi Baiq dibandingkan Collapse-nya Jared Diamond.
Walaupun perbandingan ini terkesan dipaksakan dengan rentang perbedaan yang teramat jauh, tetapi setidaknya bisa memberikan pesan bahwa buku sangat bergantung pada preferensi pembaca.
Kesan lain yang muncul adalah buku ilmiah populer hanya berkembang dan beredar di kalangan akademis, hal ini menurut Bambang Trim, Direktur Institut Penulis Indonesia (IPI) disebabkan oleh ke-jaim-an penulis-penulis buku ilmiah yang ditandai dengan tulisan yang "tidak cair", miskin dengan gaya pengisahan, berjarak dengan pembaca, bahkan kadang menggunakan kata-kata yang hanya dipahami oleh penulisnya. Satu hal lagi, para penulis buku ilmiah kerap memperlihatkan cara menyajikan dengan "memberi tahu" daripada "menunjukkan.
Ilmu pengetahuan yang semakin berkembang seiring kompleksitas dan dinamika kehidupan manusia tentu membutuhkan banyak pemaknaan dan penghayatan yang bisa diterjemahkan ke dalam buku. Semoga sindiran Dilan 1990ini semakin menumbuhkan minat baca kita pada buku-buku ilmiah.
Pesan kepada penulis buku-buku ilmiah populer "teruslah menulis, masih banyak orang-orang yang membutuhkan pencerahan dari tulisan anda". Bukan tidak mungkin tulisan anda menjadi best seller.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H