Pagi ini -- seperti biasanya -- laptop, kopi, dan beberapa makanan ringan setia mendampingi. Beberapa laporan harus dieksekusi secepatnya, tentu dengan kualitas yang tetap harus terjaga. Mau tidak mau harus rela merenung dan memikirkan substansi laporan tersebut. Tiba-tiba teman sebelah saya membuka bicara
"Ada berita mengenai Dwi Hartanto nich, heboh di internet" ujarnya tanpa mengharapkan respon, karena dia sadar bahwa aku sedang fokus berintim dengan laptopku. Tetapi karena perkataannya yang menyangkut nama orang, aku menjadi tertarik juga, karena nama itu terdengar familiar, sedikit membayang.
"Tentang apa beritanya tu bang?" aku menjawab agak terlambat
"Itu, tentang mahasiswa Indonesia yang berprestasi di Belanda, sempat digadang-gadang menjadi penerus Habibie. Ternyata prestasinya itu bohong belaka. Malu lah Indonesia" jawab teman ku itu.
"Mak, ngeri kali tu berbohongnya" aku menjawab sedikit kaget.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung me-minimizelaporan yang aku ketik, langsung aku arahkan kursor membuka browser,mencari berita yang dimaksud. Benar saja, hampir semua situs berita memuat hal tersebut, tentu saja dengan narasi-narasi yang menggelitik, mudah membuat orang salah tafsir, jika hanya berpedoman pada judul beritanya.
Salah satu sumber internet yang aku duga terjamin validitasnya, memuat berita dengan lampiran surat dari Dwi Hartanto. Langsung aku download surat tersebut, meninggalkan situs-situs berita lain yang seakan tidak menarik lagi. Surat itu berisi klarifikasi dan permohonan maaf dari yang bersangkutan terhadap semua hal yang menyangkut dirinya, karena ini tidak saja membawa namanya, tetapi juga Indonesia, dalam status dia sebagai mahasiswa asing di Belanda.
Aku tidak mengetahui asal muasal munculnya surat klarifikasi dari yang bersangkutan, tetapi memang nama ini cukup populer seiring dengan program Visiting World Class Professoryang ditaja oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi beberapa waktu yang lalu. Program ini menghadirkan orang-orang Indonesia yang hebat dan sudah malang melintang di dunia penelitian internasional, tujuannya untuk meningkatkan produktivitas riset akademis di Perguruan Tinggi, peningkatan publikasi di jurnal bereputasi, peningkatan peringkat Perguruan Tinggi Indonesia, dan meningkatkan proses interaksi akademik global antara sesama Dosen baik di dalam maupun di luar negeri. Dwi Hartanto sempat diundang sebagai peserta Visiting World Class Professorpada tahun 2016.
Peristiwa kebohongan Dwi Hartanto ini kembali mengusik nalar kemanusiaan kita, bukan tidak mungkin akan banyak orang yang mengutuk Dwi Hartanto sebagai pembohong yang memalukan Indonesia, setidaknya teman ku itu salah satu tersangkanya. Tetapi menurut saya, euforia terhadap prestasi-prestasi Dwi Hartanto yang pernah menghiasi media massa beberapa waktu yang lalu lah yang membuat keterkejutan besar, respon terhadap berita kebohongan ini. Kita harus mengakui bahwa minimnya ahli-ahli dari Indonesia yang mendunia, menyebabkan kita sangat rindu akan sosok-sosok seperti Habibie. Sedikit saja berita mengenai prestasi orang Indonesia yang berkiprah di luar negeri, maka akan direspon dengan ekspetasi yang terkadang tertumpah ruah.
Peristiwa yang menimpa Dwi Hartanto ini menurut saya merupakan perpaduan antara kerinduan akan prestasi itu dengan sikap ingin dihargai dari individu yang bersangkutan. Kita juga terkadang terlalu mudah memberikan predikat dan label kepada seseorang. Contoh teranyar adalah mengenai sosok yang membuat heboh Indoesia belakangan ini, yaitu Egy Maulana Vikri, pesepakbola lincah nan berkharisma. Setelah berjuang di ajang Piala AFF U-18, ramai isu bermunculan tentang anak ini, bahkan banyak pengamat yang menyejajarkan Egy dengan Lionel Messi. Disamping banyak juga yang memberikan respon agar Egy tidak seperti beberapa para pendahulu-nya yang muncul di awal, tenggelam tak timbul sama sekali akhirnya.
Lalu, mengapa kita terlalu mudah, kagum, dan memvonis seseorang? Hal ini sebenarnya ekspresi yang manusiawi, sebagai tanda bahwa kita adalah makhluk hidup. Tetapi dengan maraknya corong-corong ekspresi yang ditampung oleh berbagai sosial media dan media alternatif, ekspresi ini terkadang tidak terbendung dengan baik. Jadilah sebuah ladang yang penuh dengan buah-buah opini, tentu tidak semuanya bisa dimakan. Pada akhirnya, masing-masing kita kembali harus bertanya "Sudahkah kita memiliki pagar-pagar untuk membatasi diri kita kebebasan yang bisa saja membinasakan ini?" Â