Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas, tapi tidak ada salahnya untuk menyinggung soal pendidikan dan stigmanya.
Meski sudah terlewat dariMasih ingat dulu orang tua kita adu mekanik rapor kita dan teman kita? Mereka membanggakan anak mereka masing-masing dari nilai rapornya.
Kalau waktu saya SD atau SMP, standar anak jadi jagoan kelas itu adalah ranking 10 besar dan nilai rapor tidak ada yang 70 ke bawah.
Begitu menginjak bangku SMA, sistem ranking tidak ada di rapor, tapi pernah orang tua teman saya menanyakan rapor saya melalui orang tua saya.
Untuk apa? Jelas-jelas adu mekanik, pertanyaannya adalah: di rapor saya, ada berapa mata pelajaran yang nilainya 90?
Jelas, karena teman saya berasal dari SMP negeri yang kualitasnya bagus, sedangkan saya dari SMP swasta medioker.
Waktu itu saya berpikir, orang-orang berpikir kalau latar belakang siswa juga memengaruhi bagus atau jeleknya nilai rapor.
Budaya usang
Meskipun sekarang ranking dan nilai rapor bukan menjadi prioritas dalam sistem pendidikan, tetap saja di dunia sosial atau pendidikan sendiri masih mendwakannya.
Mereka masih menilai anak mereka atau orang lain cerdas kalau nilainya bagus, misal Matematika dapat nilai 95.
Lantas bagaimana dengan siswa yang nilai Matematika hanya 70, sedangkan dia berbakat di bidang seni?
Tetap saja dia dianggap bodoh karena yang dinilai hanya mata pelajaran eksak, kesannya dikotak-kotakkan.