Namun, perlahan kamu mulai jarang untuk berbagi kebahagiaan, bahkan menyapa saja tidak terlalu sering.
Aku sempat terpikirkan sesuatu, apakah kamu sudah lelah untuk menjadi alasanku untuk bahagia di hari-hari penuh luka?
Apakah kamu sudah bosan denganku yang terus menjadikanmu sebagai alasanku tetap bisa tegar di hari-hari penuh getir?
Hingga kusadari, dirimu memutuskan untuk tidak lagi menjadi hangat untukku, dan mencampakkanku begitu saja.
Mungkin, aku salah menganggapmu sebagai alasanku tetap bahagia dalam hidupku ini, kalau begitu maafkan aku.
Jika kamu harus pergi, aku susah untuk melepaskanmu begitu saja, terlebih kita belum sempat saling memiliki.
Kamu tahu, tanpamu bagaikan dari foto dengan sejuta warna berganti menjadi foto dengan hanya hitam dan putih.
Seolah-olah, kamu memilih untuk tidak lagi menginginkanku untuk saling memiliki sebagai sumber kebahagiaan abadi.
Suatu saat nanti, kamu akan bahagia, tetapi bukan aku yang membuatmu bahagia, melainkan orang lain.
Kamu harus tahu, senyuman bhagiamu di pelaminan bersama pria yang kamu cintai adalah deritaku dan seburuk-buruknya senyuman yang pernah kulihat seumur hidupku.
Ajari aku cara menghentikan kebiasaanku untuk menjadikanmu alasanku bahagia untuk selama-lamanya.