Puasa identik dengan waktu berbuka, tidak salah jika banyak anekdot bahwa azan Magrib menjadi hal yang sangat istimewa.
Bagaimana tidak, azan Magrib menjadi penanda waktu berbuka puasa setelah kurang lebih 13 jam berpuasa untuk di Indonesia.
Beberapa di antaranya sudah punya agenda mengajak rekan kerja, sahabat, atau dalam rangka reuni kuliah atau sekolah untuk berbuka bersama atau bukber.
Hitung-hitung, bukber bisa sebagai ajang silaturahmi setelah seharian bekerja dan interaksi sosialnya kurang intens.
Ada yang bukber di rumah salah satu teman dengan pengajian, ada juga yang sudah reservasi di restoran tertentu.
Saya punya cerita pengalaman teman-teman sekolah saya dulu waktu bukber, bersamaan saya ada acara keluarga sayangnya.
Mereka dengan antusias bukber di sebuah rumah makan karena beranggapan bahwa menyegerakan berbuka itu hukumnya sunah.
Namun, tidak ada satu pun yang menunaikan ibadah Salat Magrib karena terjebak dalam euforia bukber.
Besoknya, guru wali kelas saya yang mengetahui insiden itu langsung memberi sanksi, saat itu memang sekolah saya punya basis agama yang kuat.
Gagal paham
Sebenarnya, fenomena keasyikan bukber lupa Salat Magrib ini bukan hanya terjadi pada teman saya, masih banyak contoh di masyarakat.
Kebanyakan masyarakat tidak bisa memahami skala prioritas terkait ibadah mana yang sifatnya wajib.
Ini merupakan tanda masih banyak yang gagal paham antara ibadah yang merupakan kewajiban dengan berbuka puasa yang menjadi hal yang disegerakan.