Mohon tunggu...
Moh Dahlan
Moh Dahlan Mohon Tunggu... -

menggagas Islam yang inkulsif tanpa mengorbankan militanisme

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengapa Aku Begitu Sulit Menerima bila Orang Menyebutku “ustadz”

3 Februari 2011   16:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:55 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terlahir dari Orang Tua yang boleh dibilang taat dalam menjalankan Agama, maklum dia seorang Kiayi yang memimpin sebuah Pondok Pesantren di Daerah ku. Aku terlahir berjenis kelamin laki-laki. Kata orang, orangtua ku sangat suka cita tatkala aku dilahirkan , karena kakak-kakak ku yang berjumlah tujuh orang semuanya perempuan. Suka cita ortuku bukan tanpa alasan, mereka sangat mengharap kan kelak aku dapat meneruskan perjuangannya sebagai pembina dan pengayom ummat, tentunya aku harus menguasai berbagai kajian ilmu agama sebagai sandaran tatkala ummat butuh penjelasan masalah-masalah agama.

Setelah aku beranjak umur 2 tahun, kebahagiaan kedua Orang Tuaku bertambah, karena lahirlah dari rahim Ibuku seorang bayi laki-laki. Maka kecemasan dan kekhawatiran Bapak ku sirna sudah karena ada 2 jagoannya yang siap dibina dan dididik berbagai ilmu agama untuk regenerasi kedepan. Mungkin kalau aku berspekulasi apa yang difikirkan Bapak ku saat itu, andai saja aku tidak bisa memenuhi harapannya, beliau bisa menggantungkan harapannya ke Adik aku, atau sebaliknya.

Singkat cerita pada umur 13 tahun atau anak umuran kelas 1 SMP, aku mulai dididik dan dibina oleh Bapak ku untuk memperdalam Ilmu Agama, waktu itu Bapak ku tidak mendidikku secara khusus seperti anak-anak Kiayi yang lainnya. Tapi aku dididik dengan cara dibaurkan dengan santri-santri yang lainnya, pada waktu ngaji ya ngaji bersama, menghapal bersama dan mondok dikobong yang sama tidak ada pengecualiannya. Mulanya aku protes kepada Ibu ku, yang waktu itu beliau yang paling dekat dengan aku, kenapa aku diperlakukan sama dengan santri yang lainnya, jawaban Ibuku sederhana saja. Kelak kamu akan hidup ditengah-tengah masyarakat dengan segala permasalahannya bila kamu didik dan dibina seorang diri bagaimana kamu akan tahu berbagai permasalahan yang berkembang dimasyarakat nanti. Jawaban Ibu ku waktu itu engga cukup menentramkan batin ini aku tetap tidak ingin diperlakukan semacam itu.

Dan ada yang lebih aneh lagi, Bapak ku waktu mengajari aku tak pernah membedakan dengan santri-santri yang sekelas denganku, beliau tak segan-segan memaki-maki aku atau lebih parahnya nempeleng aku bilamana aku tidak mematuhi aturan-aturan Pondok Pesantren. Ada cerita yang menarik dalam hal ini, waktu itu setiap malam kamis Bapak ku suka mengadakan semacam latihan pendalaman Al-Quran melalui sudut kajian Ilmu Nahwu dan Shorof kepada santri-santrinya. aku dihantui perasaan takut karena bila ternyata Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Bapak ku, beliau suka menggebuk ke punggungku sakitnya luar biasa sekali, ditambah lagi malu dengan teman-teman ku yang memandangiku dengan perasaan kasihan.

Perjalananku dalam penggemlengan kawah candra dimuka Bapakku sempat terhenti, manakala aku tamat belajar di MTs. Aku dititipkan oleh Bapak ku disebuah Pondok Pesantren di Jawa Timur, namanya Pondok Modern Gontor Ponorogo, sebuah pondok pesantren yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Aku disana digembeleng dengan seabreg kegiatan dan rutinitas serta disiplin yang ketat, segala aktivitas dikontrol oleh para mudabbir (pengurus) Pondok. Kita bagai di penjara suci itu benar-benar terjadi. Aku mengenyam pendidikan di Gontor tidak sampai tamat karena berbagai persoalan yang menimpa keluarga ku. Permasalahan yang mendasar adalah masalah finansial. Bapak ku yang hanya seorang Guru ngaji di pelosok desa tidak mempunyai penghasilan tetap, orang mengundang hanya sebatas hajatan atau kalau ada yang meninggal. Sangat kontras sekali dengan UJE, Ust. Arifin Ilham, Zaenudin MZ dan da’i-da’i kondang yang lainnya, sekali diundang ceramah mungkin dapur bisa mengepul sampai sampai 1 bulan atau lebih.

Aku di Gontor hanya mengenyam pendidikan satu tahun dan akhir aku pun ditarik kembali kehabitat asal untuk digembleng lagi sama Bapak ku dengan tradisi lama, menerapkan pendidikan dengan ketat dan dibumbui cara-cara kekerasan (untung belum ada KPAI waktu itu kalau ada repot juga). Waktu itu aku enggak terima cara-cara yang dipertontonkan oleh ayahku, bukan kah ada cara-cara yang lebih elegan dan persuasif untuk mendidik anaknya. Tapi tetap saja aku tidak bisa berontak dihatiku masih tertanam sikap hormat dan hidmat kepada Babak ku.

Sehabis tamat SMA aku disuruh Bapak ku untuk melanjutkan studiku dibangku kuliah, waktu itu akupun bertanya-tanya pada diri ini, kenapa Bapak ku menginginkan melanjutkan studiku ke perguruan tinggi yang secara logika menjauhkan aku untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Kenapa Bapak ku tidak memasukan ku ke Pesantren yang secara khusus memperdalam ilmu-limu agama, waktu itu pun aku tak berani berontak, aku turutin semua kemauan Bapak ku. Bapakku memilihku untuk kuliah di IAIN SGD Bandung yang sekarang berubah menjadi UIN, katanya IAIN sebuah perguruan tinggi yang masih eksis memperdalam ilmu keagamaan (ya disamping mengejar Gelar Kesarjanaan ada juga ilmu agama versi IAIN yang ku miliki). Alhamdulillah walau berbagai luka liku kehidupan aku bisa menyelesaikan kuliahku tepat pada waktunya.

Setelah kuliah aku disuruh Bapak ku untuk mengabdi di sekolah MTs. Yang kebetulan satu komplek dengan Pesantren, untuk jadi guru honorer dengan gaji yang hanya cukup untuk 2 bungkus rokok saja dan disamping itu aku pun disuruh untuk membina Pondok Pesantren, kapasitasku waktu itu Bapak ku meminta ku untuk mengajar Kitab Jurumiyah kepada santri-santri pemula. Seabreg aktivitasku waktu itu benar-benar aku rasakan. Siangnya aku harus ngajar di sekolah dan malamnya aku harus ngajar santri di Pondok.

Waktu pun berlalu. Kira-kira tanggal 09 Dzulhidjah tahun 1426 H. (masehinya aku lupa maklum anak pesantren) tapi kalau engga salah tahun 2002 emaku tanpa tanda-tanda sebelumnya, pada pukul 02.00 waktu itu besoknya mau lebaran haji, emak ku dipanggil sama yang kuasa. Hatiku benar-benar terguncang saat itu, aku tidak percaya kenapa ema dipanggil secepat itu. Terlebih ayah ku walaupun beliau sebagai seorang Kiayi tapi nyatanya segi kemanusiaannya timbul juga hari-hari yang dilalui beliau murung dan sesekali beliau nangis mengingat jasa emaku yang luar bisa bagi kehidupannya juga keluarganya. Emaku tak pernah mengeluh walau hidup kami pas-pasan (bukan pas butuh pas ada) beliau yang selalu ngasih suport Bapak ku untuk selalu mengabdikan dirinya untuk ummat, dan emakku tak sungkan-sungkan marah ke Bapakku bilamana beliau sedikit lalai memberikan pengajian kepada santri-santrinya (semoga Allah menempatkan beliau ditempat yang layak dan mulia disisi-Nya).

Setahun sejak emak ku meninggal dunia, Bapak ku kawin lagi. Waktu itu aku beserta seluruh kakak adikku ga menerima Bapak ku kawin lagi, karena berbagai alasan yang tidak bisa aku kemukakan ditulisan ini. Tapi karena bijaknya Bapak ku, beliau memanggil seluruh anak-anaknya beliau berkata: aku kawin bukan didasari atas kebutuhan biologis semata, tapi karena anjuran Rusulullah SAW, sebaiknya seorang Laki-laki bila ajalnya dicabut oleh Allah maka disampingnya ada istri yang mendampinginya . Lewat perkataan Bapak ku, akhirnya seluruh kakak dan adiku menerima Bapak ku dengan Istri barunya. Namun ada yang heran dalam hal ini, aku amati Bapakku dalam menempuh hidup dengan istri barunya tidak sebahagia tatkala beliau beristrikan emaku. Dan seringkali beliau menangis bilamana menceritakan pengalaman beliau sewaktu hidup dengan emaku.

Akhirnya Bapakku jatuh sakit stroke berat, otomatis segala urusan Pondok Pesantren diserahkan ke aku dan Adikku. Dari sinilah bebanku yang berat mulai terasa, aku harus mengurus ratusan santri dengan watak dan kemauan berbeda dan ditopang dengan pengetahuan ku tentang ilmu agama yang dikatakan pas-pasan belum lagi usiaku baru meninjak 30 tahun. Yang menurut para pakar psykologi umur 30 tahun dikatagorikan belum matang dan butuh bimbingan dari seniornya.

Apalagi bebanku makin bertambah tatkala tahun 2004 Bapakku dipanggil oleh sang maha kholiq, sesuai dengan permintaannya beliau dimakamkan persis disamping pusaran emaku, kayaknya beliau punya cita-cita dalam hidup harus bersama dalam kuburan pun harus berdampingan. Sebuah situasi yang sangat sulit ditemukan di masa sekarang ini, dimana prinsifnya hidup bersama tapi kalau mati neng duluan abang cari lagi penggantinya.

Kini aku harus benar-benar memutar otak agar wasiat Bapaku untuk meneruskan pondok pesantren agar tetap eksis bisa aku lakukan, walau aku kadang ragu apakah aku bisa mengurus pondok ini sesuai dengan kesungguhan dan keikhlasan Bapakku atau malah sebaliknya. Walau aku sering kali menemukan berbagai masalah Alhamdulillah pondok ini tetap berjalan sebagaimana biasanya. Aku bahu membahu dengan adikku untuk membesarkan pondok ini. Dan perjuangan kami tidak sia-sia setiap tahunnya ada beberapa santri yang bisa meneruskan kuliahnya di Al Azhar kairo mesir, atau ke LIPIA Jakarta dengan beasiswa penuh dari pemerintahan Mesir.

Tapi sampai saat ini pun aku paling ga suka kalau orang menyebutku USTADZ atau embel-embel yang lainnya, aku lebih suka orang menyebutku dengan namaku sendiri atau nama samarannku. Entah kenapa aku sangat sadar ilmu dan kepribadianku masih sangat kurang, belum pas kayaknya bila orang memanggilku sebutan-sebutan itu. (bersambung)


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun