Mohon tunggu...
MASE
MASE Mohon Tunggu... Lainnya - Mochammad Hamid Aszhar

Pembelajar kehidupan. Pemimpin bisnis. Mendedikasikan diri membangun kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Spiritualitas Kurban dan Kepedulian Lingkungan (Bagian 2)

28 Juni 2023   20:05 Diperbarui: 30 Juli 2023   18:07 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejarah ritual pengorbanan nyawa sudah ada sejak zaman dahulu di berbagai suku bangsa, mulai dari Tiongkok Kuno, suku Ur di Timur Tengah, suku Inca Kuno di Amerika Selatan, suku Maya Kuno di Amerika Tengah, suku Aztec di Meksiko Utara, peradaban kuno Hawai dan Kepulauan Pasifik, bangsa Mesir Kuno, India Kuno, Yunani Kuno, Jepang Kuno, Korea Kuno, Hindu Kuno, India, Bangladesh, Tanzania, Afrika, Persia Kuno serta Romawi Kuno bahkan di Indonesia seperti di Suku Naulu dan Suku Dayak. Seiring perkembangan peradaban manusia praktik pengorbanan manusia dikutuk oleh masyarakat dan agama serta dianggap telah melakukan pembunuhan jiwa manusia.

Peristiwa monumental pengorbanan yang dilakukan Nabi Ibrahim AS dengan putranya (qurban) menjadi tonggak sejarah kemanusiaan yang kuat untuk menyudahi tradisi pengorbanan manusia yang kejam dan menyebar di berbagai suku bangsa. Keberpihakan Tuhan sebagai Satu yang Absolute dan Sumber segala Realitas Kehidupan pada keberlangsungan hidup manusia menandakan tingginya pemuliaanNya akan eksistensi jiwa seorang manusia. 

Peristiwa monumental  pengorbanan yang dilakukan Nabi Ibrahim AS dengan putranya (qurban) diabadikan dalam QS 37 : 102-108 sebagai berikut :

... Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, "Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!" Dia menjawab, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."

Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya). Lalu Kami panggil dia, "Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu." Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (tonggak sejarah) di kalangan orang-orang yang datang kemudian....

Nuansa penting dalam kisah Abrahim ini memberi pelajaran bahwa kita harus berhati-hati dalam mematuhi mimpi-mimpi atau apapun yang tampaknya menjadi kehendak Tuhan dan membandingkan perintah Tuhan dengan akal sehat kita. Interpretasi kita bisa salah, seperti salahnya interpretasi Nabi Ibrahim AS atas mimpi-mimpinya sebagai perintah mengorbankan nyawa manusia. Allah sebagai  sebagai Satu yang Absolute dan Sumber segala Realitas Kehidupan menyelamatkan keberlangsungan hidup Sang Putra  dari kesalahpahaman Nabi Ibrahim AS dengan memanggil Nabi Ibrahim AS dan menggantinya dengan seekor sembelihan yang besar sebagai pengganti nyawa manusia di saat-saat terakhir. 

Hal ini terutama berlaku untuk kita manusia biasa yang mempelajari perintah-perintah Tuhan bukan dari wahyu langsung, seperti yang dilakukan para Rasul dan para Nabi, melainkan dari transmisi dan interpretasi manusia yang bisa jadi salah. Seharusnya keimanan dan ketakwaan itu didasari oleh pertimbangan akal sehat, bukan kepatuhan buta (taqlid). Secara obyektif pembunuhan jiwa manusia baik itu membunuh ataupun bunuh diri adalah keburukan walaupun kita persepsikan itu perintah Tuhan. Secara akal sehat Tuhan tidak akan pernah memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu yang buruk seperti membunuh jiwa manusia apalagi anaknya sendiri. Ayat-ayat dan sejarah qurban dapat kita pahami bahwa spiritnya adalah menggugah kembali akal sehat manusia dalam mematuhi mimpi-mimpi atau mitos-mitos yang kita persepsikan sebagai perintah Tuhan. Bukan kepatuhan buta (taqlid) walaupun tampaknya kebaikan, pengorbanan dan kecintaan kepada Tuhan. 

Referensi :

Ibn Katsir, Ismail  (774 H) "Tafsir Alquran al-Adziim", Dar Alamiah (QS 37 : 102-108, QS 108 : 2, QS 22 : 28, 34, 35, QS 2 : 155; QS 55 : QS 16 : 66; QS 7 : 29; QS 38 : 46; QS 11 : 45-47)

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, (194 H /810M - 256 H/870), "Shahih Al Bukhari" (al-Jami al-Musnad as-Sahih al-Mukhtasar min Umur Rasulilah SAW wa Sunanihi wa Ayyamihi), Dar-us-Salam Publications; 1st edition (June 1, 1997)

Muslim, Abul Husain bin al-Hajjaj al-Naisaburi, (204H/821M-261H/875M) "Shahih Muslim" (Al-Musnad Ash-Shahih), Dar-us-Salam Publications Inc; 1st edition (June 1, 2007)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun