Tafsir QS 4 : 3, 129
Pertentangan pendapat antara monogami dan poligami sering karena tafsir atas QS 4 : 3, 129 yang dipahami berbeda-beda. Cara paling mudah dan valid menafsirkan QS 4 : 3, 129 yang sering dijadikan dasar poligami  adalah mengkaji kehidupan Nabi Muhammad SAW. Menafsirkan al-Qur’an dengan mengkaji kehidupan Nabi Muhammad SAW (al-Sunnah) adalah salah satu cara penafsiran yang digunakan dalam metode tafsir bi al-maʻstūr. Tafsir bi al-maʻstūr adalah salah satu metode penafsiran al-Qur’an yang paling kuat dan diakui keabsahannya, yaitu metode menafsirkan nash-nash al-Qur’an dengan menggunakan nash-nash al-Qur’an itu sendiri atau mengkaji kehidupan Nabi Muhammad SAW (al-Sunnah). Pada saat al-Qur’an diturunkan, Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya manusia yang paling memahami wahyu dari satu yang sejati, absolute - infinite dan menjadi substansi dan manifestasi semua di alam semesta. Nabi Muhammad SAW juga  paling sempurna mempraktekan wahyu tersebut. Karena itu Nabi Muhammad SAW sering dijuluki Al Quran berjalan.
Bila kita mengkaji sejarah, poligami sudah berlangsung sejak zaman kuno. Kondisi sosial dan alam yang ekstrim seperti cuaca, iklim dan sering terjadinya peperangan antara suku bangsa memunculkan ketergantungan yang luar biasa dari wanita kepada pria untuk memenuhi kebutuhan perlindungan, bertahan hidup dan reproduksi mempertahankan spesiesnya. Karena kondisi sosial dan alam yang ekstrim ini poligami menjadi solusi sosial dan budaya di masyarakat. Di Yunani, Mesir, Romawi, China, Persia, India, Arab bahkan Nusantara sudah biasa seorang pria yang sangat kuat dan berpengaruh seperti raja-raja dan bangsawan-bangsawan memiliki istri puluhan sampai ratusan. Bila kita cermati konteks sejarah  (asbabun nuzul) diturunkan QS 4 : 3, 129, spiritnya adalah mengurangi jumlah istri bukan menambah jumlah istri. Dari sebelumnya memiliki istrinya puluhan sampai ratusan, dibatasi cukup sampai 4 maksimal dalam satu waktu. Tafsir lain dibatasi cukup sampai 9 maksimal dalam satu waktu. Karena "wau athaf" dalam ayat "fankihuu maa thaaba lakum minannisaa-i matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa', fa in khiftum allaa ta'diluu fa waahidatan" itu tidak hanya bermakna "atau" yang memiliki makna pilihan (tahyir atau ibahah) namun juga bermakna "dan" yang memiliki makna penjumlahan ma’thuf alaih dengan ma’thuf. Sehingga secara logika matematika "wau athaf" bisa artinya pilihan 2 istri, 3 istri atau 4 istri. Namun bisa juga artinya penjumlahan 2+3+4 = 9, sehingga tafsir lain dibatasi maksimal 9 istri dalam satu waktu. Ini juga yang menjadi dasar istri Nabi Muhammad SAW dalam satu waktu berjumlah 9. Namun sangat jarang atau hampir tidak ada pria di dunia ini yang memiliki integritas, kapasitas, karakter, kompetensi, kepemimpinan dan kemampuan bersikap adil seperti Nabi Muhammad SAW.
Bila kita mengkaji kehidupan Nabi Muhammad SAW, dalam keseluruhan kehidupan pernikahan Beliau selama kurang lebih 33 tahun, selama 25 tahun Beliau monogami dan kurang lebih hanya 8 tahun Beliau poligami. Dan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW itupun setelah meninggalnya istri pertama Nabi Muhammad SAW yaitu Siti Khadijah. Bahkan ada jeda waktunya kurang lebih 4 tahun kemudian baru Beliau menikah kembali. Â Yang juga perlu disadari bahwa poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW lebih banyak karena perintah wahyu untuk menghindari keburukan (kemudharatan) atau meraih kebaikan (kemashlahatan) yang lebih besar, seperti darurat politik untuk menyatukan suku-suku yang berperang, membebaskan dari perbudakan di dunia, meletakkan pondasi syariat status anak angkat, pelestarian hadits, menyelamatkan kehidupan sosial yang lebih besar terutama masa depan anak-anak yatim yang tidak mempunyai ayah, mengangkat harkat dan martabat para janda dan perlindungan kepada wanita yang lemah.Â
Fakta tersebut menyadarkan kita bahwa monogami dan poligami bukanlah suatu konsep sosial yang harus dipertentangkan. Keduanya adalah konsep sosial yang diperlukan dalam kehidupan manusia dan saling melengkapi. Fakta tersebut menyadarkan kita bahwa poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW bukan semata-mata memenuhi hawa nafsunya. Namun juga bukan berarti tidak ada hawa nafsu. Artinya poligami karena memenuhi kebutuhan seks secara syah dalam ikatan pernikahan diperbolehkan secara syariat. Nabi Muhammad SAW tetaplah juga manusia dengan sifat-sifat manusiawinya. Mengatakan bahwa semua istri Nabi Muhammad SAW adalah janda-janda dan nenek-nenek tua tidaklah benar. Ada istri Nabi Muhammad SAW Â yakni Siti Aisyah dan Maria Al Qibtiyah berstatus gadis. Yang janda-jandapun kebanyakan usianya dibawah Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu usia Nabi Muhammad SAW sudah diatas 54 tahun. Hanya ada satu janda yang bisa disebut nenek yang usianya sekitar 55 tahun saat dinikahi Nabi Muhammad SAW yaitu Saudah binti Zama'ah. Dan di masa setelah Nabi Muhammad SAW meninggal, Siti Aisyah banyak berkontribusi besar pada pelestarian hadits. Pernikahannya dengan Maria Al Qibtiyah menjadi tinta emas sejarah tentang semangat Islam menghapuskan perbudakan di tengah-tengah masyarakat yang arogan, eksploitatif, merendahkan derajat wanita dan melegitimasi perbudakan.
Mindset yang Benar
1. Pernikahan baik itu monogami maupun poligami adalah hubungan pernikahan yang syah dan bertanggungjawab sesuai kapasitasnya masing-masing untuk saling berbagi kebahagiaan, saling berbagi keberlimpahan dan cinta, saling melengkapi dan saling menyempurnakan dalam suatu sistem sosial yang diatur dalam Islam dengan batasan-batasan dan syarat-syarat tertentu.Â
Wanita jangan berlebihan dengan kata-kata negatif bahkan antipati terhadap poligami. Hati-hati bila kata-kata negatif itu jadi bumerang. Siapapun kita bisa diuji. Bagaimana kalau kita sebagai istri "kena" atau benar-benar diuji karena satu atau lain hal tidak ada pilihan lain harus menjalani kehidupan poligami? Berapa banyak dari para istri yang terlalu posesif memiliki suami justru akhirnya lepas bercerai? Yang jadi korban seringkali anak-anak, hanya demi memperturutkan ego orangtuanya yang tidak bisa dikendalikan. Sebaliknya pria juga jangan berlebihan dengan menganggap wanita yang masih belum siap suaminya poligami, sebagai wanita tidak sholihah. Adalah manusiawi jika sebagian besar hati manusia baik pria maupun wanita tidak rela dirinya diduakan. Karena dalam diri manusia ada ego. Konsep yang benar dalam pernikahan baik itu monogami atau poligami itu bukan membagi cinta. Cinta sesungguhnya tidak bisa dibagi. Konsep yang benar adalah cinta yang bertambah. Analogi sederhana seperti kita mencintai seluruh anak-anak kita full 100% baik cinta kita bagi ke anak pertama, anak kedua, anak ketiga dan anak seterusnya. Sama seperti halnya bila kita poligami cinta kita ke istri pertama full 100%, cinta kita ke istri kedua full 100%, cinta kita ke istri ketiga full 100% dan seterusnya. Lebih luas lagi cinta kita kepada seluruh semesta, semuanya mendapatkan full 100%. Dalam dimensi cinta tidak ada keterpisahan.
Bila kita cermati lebih dalam sebagian besar wanita justru bukan menolak syariat poligami, tapi justru lebih meragukan niat, kejujuran, akhlak/syakhsiyah dan kapasitas suami. Kebanyakan istri meragukan kemampuan dan kepantasan suami untuk memberikan nafkah yang layak, serta menerapkan kepemimpinan (leadership) yang adil serta membawa kebahagiaan bagi istri-istrinya dan keluarganya. Akhlak/syakhsiyah yang buruk, kondisi finansial yang kurang untuk memberikan nafkah serta kemampuan kepemimpinan (leadership) dari seorang pria yang rendah inilah yang seringkali gagal meyakinkan para istri/wanita bahwa poligami yang dilakukan akan adil, bijaksana, bertanggungjawab dan membawa kebahagiaan.Â
Yang perlu kita sadari adalah pernikahan bukanlah pancaran dari kekurangan akut (scarcity). Pernikahan bukanlah mengharap, meminta dan menuntut pasangan kita harus begini, harus begitu (needy). Pernikahan bukan tempat penghakiman atau ruang jaksa yang berisi tuntutan kepada pasangan harus begini harus begitu. Pernikahan sejatinya bukan cari pasangan yang melengkapi diri kita. Yang melengkapi diri kita adalah tugas kita sendiri bukan tugas orang lain. Hubungan yang kuat dan bahagia dalam pernikahan memerlukan orang-orang yang kuat dan bahagia. Hubungan yang berkelimpahan dan penuh cinta dalam pernikahan memerlukan orang-orang yang berkelimpahan dan penuh cinta. Dan itu tanggungjawab kita sendiri untuk jadi kuat dan bahagia. Tanggungjawab kita sendiri untuk hidup berkelimpahan dan penuh cinta. Sama sekali bukan tanggungjawab orang lain atau pasangan kita. Diri kita sendiri yang harus membangun beliefs dan values, membangun mindset dan behaviour, membangun habits, membangun nasib diri sendiri. Itulah kepemimpinan diri. Bila kita tidak bisa memimpin diri sendiri bagaimana kita bisa memimpin kebahagiaan istri-istri, anak-anak dan keluarga kita?
Pernikahan sejatinya adalah saling menerima , saling menghormati/menghargai, saling care, saling melengkapi, saling melindungi, saling menyempurnakan. Al Quran mengilustrasikan bahwa istrimu adalah pakaian bagimu dan sebaliknya suamimu adalah pakaian bagimu. (QS 2 : 187). Fungsi dasar pakaian adalah melindungi diri kita, menjaga kehormatan kita, menyempurnakan kita. Hakikatnya pernikahan adalah banyak memberi, memberi dan memberi. Rahasianya adalah ketika kita memiliki kesadaran keberlimpahan (abundance) seperti ini maka yang terjadi adalah kita banyak menerima, menerima dan menerima. Karena sejatinya ketika kita memberi yang menerima pertama kali adalah diri kita sendiri sebelum mengalirkannya pada orang lain. Kita sudah damai dengan pikiran kita maka kita memberikan kedamaian bagi pasangan kita, anak-anak kita, keluarga kita. Kitapun semakin damai. Kita sudah fulfilment dengan cinta maka kita berbagi cinta bagi pasangan kita, anak-anak kita, keluarga kita. Kitapun semakin fulfilment dengan cinta. Secara fisik dan energi kita sudah sehat dan kuat maka kita mensejahterakan pasangan kita, anak-anak kita, keluarga kita. Kitapun semakin sehat, kuat dan sejahtera. Inilah kebahagiaan sejati dalam pernikahan. Efeknya adalah merasa cukup, kesetiaan, ketenangan hidup dan kebahagiaan lahir dan batin. Cinta tidak datang kepada mereka yang mencarinya, tetapi kepada mereka yang memberikan cinta.