Tesis sejarah yang mengidentikkan mahasiswa sebagai the only effective opposition sudah patut dipertanyakan tatkala dibenturkan dengan realitas sosial yang ada. Mahaiswa yang dulunya sibuk bergelimang dengan pustaka yang menjadi bahan bacaan dalam mengeksplorasi gagasan kritis seperti ide-ide pembebasan, demokrasi, keadilan, kesetaraan, dan kemerdekaan yang menjadi lokomotif lahirnya spirit perlawanan terhadap koloniaslime, kini gugur seperti ditelan angin. Begitu juga mereka yang sangat di identikan dengan rasa solidaritas dan tali persaudaraan yang tinggi membentuk sebuah perhimpunan kedaerahan (seperti dalam catatan sejarah sebelum lahirnya sumpah pemuda ada PPI, jong java, jong ambon hingga lahir perhimpunan budi utomo) rasanya semakin hilang ditelan sejarah. Bahkan tak sedikit dari mereka memilih jalur individual dan tak mau tahu organisasi ali-alih menjamahnya.
Derasnya arus globalisasi telah membawa dinamika mereka(mahasiswa modern) bersetubuh dengan gaya hipermodernisme. Gaya konsumerisme menjadi budaya keseharian bahkan menjadi ciri khas gaya hidup yang mewarnai mereka hal ini tampak dari koleksi bermacam barang elit yang dipakai setiap hari dari barang elektronik gadget, baju, kaos, celana hingga kerudung bagi kaum hawa bahkan tak jarang mereka rela merobeh kocek yang mahal sekedar memakai kostum untuk tampil semenarik mungkin. Seperti itulah potret mahasiswa indonesia modern yang sibuk sekedar mempercantik diri dan memuaskan hasrat dangkal mereka. Seakan gairah mereka hanya diabdikan bagi kepentingan materialistik.
Inferiority feeling
Mungkin terlalu pendek bila saya mengasumsikan bahwa perilaku konsumtif yang berlebihan(conspicious consumption) tersebut sebagai wujud kompensasi dari rasa inferioritymereka. J.P Chaplin dalam Dictionary Of Psychology memahami inferiority feeling sebagai rasa tidak berarti sama sekali, rasa rendah diri atau saya biasa menyebutkan dengan istilah lain yaitu merasa kurang diperhatikan. Dengan menggunakan kostum yang lebih menarik, dan memakai barang mewah yang lebih mencolok, mereka akan merasa lebih diperhatikan dan lebih dipandang oleh orang di sekelilingnya.
Tak heran bila mereka seringkali tampak dalam penampilan yang abnormal seperti halnya mahasiswa dengan kostum ala korea dangan memakai anting, di tindik, ditato dan lainnya. Semua itu tidak lain adalah kompensasi dari perasaan-perasaan inferiority feelings mereka. Pemakaian aksesoris tersebut akan berkelanjutan bahkan mejadi kebiasaan ketika mendapat stimulus berupa sanjungan dari lingkungan mereka apa lagi diklaim sebagai representasi dari pemuda modern. Tentunya stimulus yang datang semakin mengukuhkan mereka untuk mengkonsumsi barang lebih banyak hingga akhirnya mereka terdampar pada zona nyaman(comfort zone) mereka.
Menuai individualis mengikis solidaritas
Bila saya katakan perilaku konsumtif muncul dari perasaan rendah diri untuk mendapatkan pengakuan sosial maka tak jauh beda dengan apa yang dipaparkan teoritisi sosial asal Amerika Thorstein Veblen(1857-1029) dalam bukunya yang berjudul Theory of Leisure Class(1899), Thorstein berasumsi bahwa tujuan oramg-orang mengonsumsi pelbagai macam barang tidaklah sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka semata, tetapi untuk membedakan martabat atau status sosial serta berupaya membangun rasa cemburu terhadap kelompok lain. Thorstein mengkatagorikan mereka sebagai “leisure class” atau “kelas pemboros”.
Dorongan mengonsumsi barang secara berlebihan merupakan kompensasi dari tidak terpenuhinya tangga sosial ke atas(hight status). Dengan menggunakan barang bermerek tertentu mereka seakan sudah menjadi bagian dari kelompok yang direpresetasikan dengan merek tersebut. Dengan begitu pemakaian barang kini tidak lagi diposisikan sebagai kebutuhan tapi membuat perbedaan nilai dalam status sosial. Barang dijadikan sebagai alat rekayasa untuk membedakan pemakainya dengan orang lain jadi tak heran bila dalam masyarakat modern terbentuk tangga sosial dan gap antara si miskin dan si kaya. Keadaan tersebut jelas berdampak buruk bagi kehidupan kita terutama atmosfer perguruan tinggi, banyak bermunculan pemuda-pemudi individualis dan cenderung soliter sehingga mengikis rasa solidaritas. bahkan membuat mereka lemah dalam daya kritis dan tak mempunyai power dalam mengorganisir kelompok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H